NILAI-NILAI
PENDIDIKAN DALAM NOVEL ISINGA
KARYA
DOROTHEA ROSA HERLIANY
(KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA)
SKRIPSI
Oleh
ESNA
EVELIN RALAHALU
NIM:
2015-35-119
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
PATTIMURA
AMBON
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra adalah karya yang berhubungan
dengan ekspresi dan pencintaan.Karya sastra seperti karya seni lainnya
mengandung unsur keindahan yang dapat menimbulkan rasa senang, nikmat, haru,
dan melegakan perasaan pembacanya.Sastra merupakan tuangan pengalaman batin
manusia yang digali dari kehidupan luas dan berisi konflik batin manusia dalam
menjalani hidup dan kehidupan. Lapoliwa
(dalam Jasman, 1993 :
1)mengatakan: bahwa sastra sebagai salah satu jalan untuk mengenal, mengasihi
dan memesrai kehidupan. Hal itu menandakan bahwa seorang pencipta karya sastra
tidakhanya sekedar mengekspresikan jiwanya saja, melainkan secara tersirat dia
mendorong, mempengaruhi pembaca agar menghayati dan menyadari masalah serta ide
yang dicurahkan dalam karyanya.Umumya dalam sebuah karya sastra dibicarakan
tentang manusia dengan beranekaragam kegiatannya. Karya sastra merupakan sarana
penting untuk mengenal manusia dan zamannya.Melalui karya sastra baik berbentuk
puisi, cerpen, ataupun novel dapat dibayangkan kemajuan kebudayaan, tradisi
yang berlaku, keadaan ekonomi, dan sebagainya.Karya sastra merupakan wadah
untuk mengenal manusia dan zamannya, jika dilihat dari segi bentuk dan
teknisnya memiliki dunia masing masing.
Novel pun mempunyai dunia, mekanisme,
dan realitasnya sendiri. Apabila dibaca maka muncul berbagai perasaan dalam
diri. Kadangkala terasa seperti ada jurang antara kenyataandalam novel dengan
diri kita sendiri.Sebaliknya tidak dapat dipungkiri diri kita yang seakan
begitu menyatu sekali dengan novel yang dibaca.Keadaan seperti itu mungkin
sengaja ditampilkan oleh pengarang sesuai dengan perkembangannya. Novel sebagai
salah satu wujud ragam sastra Indonesia merupakan karya imajiner, serta hasil
perenungan dan reaksi pengarang terhadap
manusia dan kehidupan. Fenomena pandangan manusia jadi menarik bagi
pengarang.Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut, kemudian
diungkapkankembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif ke dalam karya
sastra. Fenomena kehidupan yang digambarkan pengarang diantaranya mengungkapkan
hakikat pandangan manusia terhadap eksistensinya. Dapat pula dibayangkan
berbagai pandangan yang telah terungkap menyangkut eksistensi manusia
Indonesia.Sebuah novel akan dinyatakan bermutu jika senantiasa mengandung nilai
positif bagi pembacanya. Disamping itu juga pembaca mampu menangkap nilai-nilai
positif yang disampaikan oleh pengarang. Salah satu nilai positif yang kerap
tertuang didalam novel adalah nilai pendidikan, yang mencakup didalamnya nilai
pendidikan relegius, nilai pendidikan moral,nilai pendidikan sosial, dan nilai
pendidikan budaya.Melalui nilai-nilai inilah, pesan ingin disampaikan dan
dibentuk menjadi sebuah ide sehingga menjadi sesuatu yang menarik dan
bermanfaat.
Pendidikan merupakan pilar penting
dalam suatu bangsa, bahkan menjadi peran yang paling utamadalam kemajuan
kehidupan manusia.Keadaan suatu bangsa tentunya sangat dipengaruhi bagaimana
kondisi manusia yang berada dalam bangsa tersebut.Maju atau tidaknya suatu
bangsa dipengaruhi oleh kondisi orang-orangnya, karena pada dasarnya yang
berperan dalam menjalankan suatubangsa adalah orang-orang yang menempati bangsa
itu sendiri. Hal ini sangatlah tergantung dari pendidikan yang diperoleh
orang-orang itu sendiri.Pendidikanberfungsi mengembangkan kemampuan dan watak
serta peradaban bangsa.Dengan pendidikan, manusia diantarkan menjadi sosok yang
pandai, bijaksana dan kritis.Namun pada dasarnya pendidikan tidak harus serta
merta diawali oleh lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah suatu proses
belajar, yaitu belajar dari yang tidak tahu menjadi tahu. Pendidikan dengan
segala perangkat pembelajarannya merupakan sarana yang efektif untuk proses
pembentukan ideology manusia. Tujuan pendidikan memuat tentang gambaran
nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Tujuan
inilah yang akan menjadi tolak ukur dari pencapaian untuk menghasilkan generasi
yang sesuai dengan harapan bangsa. Dalam dunia kesusasteraan, novel dijadikan
sebagai salah satu media pengungkapan kehidupan manusia dalam mewujudkan
nilai-nilai pendidikan.Melalui karya sastra, pengarang lebih leluasa
menyampaikan ide, gagasan pandangan hidup, dan nilai-nilai yang bermanfaat bagi
penikmat sastra.
Novel Isinga Roman papua merupakan salah satu
sarana yang strategis untuk menyampaikan pesan-pesan, khususnya nilai-nilai
pendidikan.Novel Isinga terbit pada
tahun 2015, menyajikan tema sosial budaya yang megandung nilai-nilai pendidikan
yang begitu nyata, karyanya berbicara tentang kehidupan seorang perempuan yang
mengalami ketidakadilan yang diakibatkan oleh sistem patriarki.Isinga sendiri adalah ibu atau perempuan
di Papua. Bagaimana perempuan di sana menghadapi perlakuan tidak adil dari kaum
laki-laki dan bagaimana mereka tegar perkasa menghadapinya. Tidak heran jika
dalam karyanya Dorothea Rosa Herliany begitu menghayati, cermat dan detail saat
menggambarkan tokoh dan nilai-nilai pendidikan di dalam ceritanya. Ketertarikan
peneliti memilih novel Isinga sebagai
objek penelitian adalah sebagai berikut: pertama, novel Isinga sangat menarik, karena mengangkat kisah hidup
perempuan Papua. Banyak persoalan yang terungkap secara bertahap melalui teknik
penceritaan yang menawansehingga antara persoalan-persoalan satu dengan
persoalan yang lain saling berhubungan. Kedua: novel Isinga dapat dijadikan cermin untuk melihat manusia dalam usahanya
memahami kehidupan dengan segala isinya (lingkungan fisik, lingkungan
perkampungan, cara hidup, adat istiadat). Novel Isinga diangkat dari kenyataan sosial, menggambarkan kondisi,
perilaku, dan sikap hidup masyarakat Aitubu dan Hobone dari kelompok etnis
tertentu dan memiliki kebudayaan tertentu pula.Penelitian ini hanya
mengungkapkan penggambaran nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam
novel.Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti menentukan judul Nilai-Nilai
Pendidikan Dalam Novel Isinga karya
Dorothea Rosa Herliany.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah
“Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan
dalam Novel Isinga karya Dorothea
Rosa Herliany (Kajian Sosiologi Sastra)” ?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah
mendiskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam Novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany (Kajian Sosiologi Sastra) .
1.4 Manfaat Penelitian
Secara teoretis hasil penelitian ini
memberikan gambaran tentang nilai-nilai pendidikan dalam Novel Isinga.
Hasil penelitian ini bermanfaat
sebagai pengetahuan dan pemikiran wawasan bagi pembaca atau peminat sastra
mengenai penelitian nilai-nilai pendidikan dalam karya sastra Indonesia serta
untuk menggugah dan mendorong peneliti lain dalam meneliti karya sastra pada
umumnya dan mengenai nilai-nilai pendidikan
khususnya.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1 Pengertian Novel
Istilah novel dalam bahasa Indonesia
berasal dari istilah novel dalam bahasa Inggris. Sebelumnya istilah novel dalam
bahasa Inggris berasal dari bahasa Itali, yaitu novella. Novella diartikan
sebuah barang baru yang kecil, kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam
bentuk prosa (Abrams, dalam Purba 2010: 62)H. B. Jassin (Purba 2010: 63)
mengatakan bahwa novel merupakan rangkaian cerita yang membahas tentang
kehidupan seseorangdimana berhubungan dengan pengalaman manusia secara
imajinatif. Dalam kesustraan Indonesia, diketahui istilah roman dan novel.Roman
diartikan sebagai karya yang menggambarkan kehidupan manusia secara luas dari
kecil hingga dewasa dan meninggal. Sedangkan novel diartikan sebagai karya yang
mengungkapkan kehidupan manusia pada suatu saat tertentu secara mendalam.Istilah
yang umum dipakai di Indonesia untuk karya sastra berupa prosa yang panjang
adalah istilah novel, sedangkan roman hanyalah istilah novel untuk zaman
sebelum perang dunia kedua.Dari beberapa pendapat ahli tersebut dapat
disimpulkan bahwa, novel merupakan cerita berbentuk prosa yang mengandung
rangkaian cerita kehidupan manusia dalam jangka yang lebih panjang dimana
terjadi konflik-konflik yang akhirnya mengakibatkan terjadinya perubahan jalan
hidup antara pelakunya dan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya.
2.2
Jenis-Jenis Novel
Novel yang berkembang di Indonesia
terdiri dari beberapa jenis, yakni novel berdasarkan isi cerita dan novel
berdasarkan genre. Novel yang berdasarkan isi cerita dapat dibagi menjadi dua,
yakni novel fiksi dan non fiksi.Novel non fiksi merupakan isi cerita novel
berdasarkan cerita nyata, sedangkan novel fiksi merupakan isi cerita novel
hanya berdasarkan khayalan penulis dan tidak berdasarkan cerita nyata, baik
dari alur. Jenis Novel berdasarkan novel
genre dapat dibagi menjadi lima yaitu:
(1) Novel romantic. Novel romantic bercerita tentang
novel yang berkisahkan tentang percintaan dan kasih sayang. Biasanya disertai
dengan intrik-intrik yang menimbulkan konflik.
(2) Novel horror. Novel horror memiliki cerita yang
menegangkan, seram, dan membuat pembacanya berdebar-debar yang berhubungan
dengan makhluk-makhluk gaib dan berbau supranatural.
(3) Novel misteri. jenis novel ini lebih rumit dan
dipenuhi teka-teki yang harus dipecahkan. Biasanya disukai pembaca karena
membuat rasa penasaran dari awal sampai akhir.
(4) Novel komedi. dilihat dari namanya novel ini
memiliki unsur-unsur lucu dan humor, sehingga bisa membuat pembacanya terhibur
dan sampai tertawa terbahak-bahak dan,
(5) Novel inspiratif. Jenis novel yang dapat
menginspirasi banyak orang. Banyak mengandung nilai-nilai moral dan hikmah yang
dapat diambil dalam novel ini.
B.
Nilai Pendidikan
1 Batasan Nilai Pendidikan
Kata nilai atau value berasal dari
bahasa latin valere atau bahasa Prancis kuno valoir yang berarti berharga.
Namun, ketika kata tersebut dihubungkan dengan obyek atau dipersepsi dalam
sudut pandang tertentu maka akan mempunyai tafsiran yang beragam nilai atau
harga menurut ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, politik ataupun agama. Nilai
adalah realitas abstrak dalam diri manusia menjadi daya pendorong terhadap
sikap dan tingkah laku sehari-hari. Nilai adalah sesuatu yang menarik bagi
kita, sesuatu yangkita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai
dan diinginkan singkatnya sesuatu yang baik.
Nilai dalam arti sifat yang berharga
adalah sifat dari suatu hal, benda, atau pribadi yang memenuhi kebutuhan
elementer manusia yang memang serba butuh atau menyempurnakan manusia, yang
memang tak kunjung selesai dalam pengembangan dirinya secara utuh, menyeluruh
dan tuntas. Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan
melembaga secara obyektif di dalam masyarakat. Nilai ini nantinya akan menjadi
tujuan agar masyarakat menjadi manusia yang lebih baik.
Defenisi
tentang nilai yang abstrak, bukan hanya sebagai harga suatu benda.
Karena itu, memilih defenisi bukan untuk menyalahkan defenisi lain tetapi
tergantung dari sudut mana seseorang mendefinisikan nilai. Namun, untuk
kebutuhan pengertian nilai yang sederhana, mencakup keseluruhan aspek yang
terkandung dalam definisi di atas maka dapat ditarik suatu defenisi baru yakni
nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan dan sifat yang
menjadi acuan bagi manusia baik didapat secara subjektif ataupun objektif dan
nilai bisa mempengaruhi tingkah laku manusia. Pendidikan secara praktis tidak
terpisahkan dengan nilai-nilai, terutama proses membina nilai-nilai yang
bersifat fundamental,seperti nilai sosial, nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai
agama. Menurut Kohlberg dalam Nina syam (2011:94) temukan penelitian Hartshorne
dan May dapat diinterpretasikan bahwa pendidikan moral di sekolah tidak
efektif. Ketidakefektifan itu di sebabkan oleh karakter moral telah di bentuk
lebih awal di rumah karena pengaruh orang tua. Karakter moral juga dianggap
sebagai sesuatu yang tidak tetap dan merupakan emosi mendalam yang
keberadaannya tidak konsisten. Seseorang berperilaku moral lebih disebabkan
oleh factor-faktor situasional dan bukan merupakan hasil pemikiran yang
didasarkan atas perkembangan moral. Sedangkan menurut Fankena dalam Nina Syam
(2011:96) perilaku moral bukan merupakan refleksi dari pengalaman pendidikan
yang berpusat pada nilai-nilai moral yang diajarkan. Hal inilah yang menjadi
penyebab mengapa pendidikan moral selama dekade tersebut dinyatakan kurang
berhasil, bahkan dianggap gagal, yaitu karena kurang mengikutsertakan factor
kognitif. Suatu perilaku moral dianggap bernilai moral jika perilaku itu
dilakukan secara sadar atas kemauan sendiri dan bersumber dari pemikiran moral
yang bersifat otonom. (Fankena dalam Nina Syam, 2011:98) dengan demikian dapat disimpulkan, perilaku
moral dapat dikatakan bermoral jika perilaku tersebut dilakukan secara sadar
atas kemauan sendiri sebagai hasil berfikir yang merupakan refleksi dan pengalaman
belajar seseorang.
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang, usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan, proses, serta cara pembuatan mendidik. Jadi,
untuk membentuk seseorang atau sekelompok orang yang memiliki karakter yang
baik maka harus ada usaha mencapai hal tersebut melalui suatu proses yaitu,
pendidikan.
2 Aspek-Aspek Nilai Pendidikan
Pendidikan sebagai gejala universal,
merupakan suatu keharusan bagi manusia, karena selain pendidikan sebagai gejala,
juga sebagai upaya memanusiakan manusia. Menurut Fuad Ihsan (2008:1) pendidikan sebagai usaha
manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik
jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan
kebudayaan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai dan
norma-norma tersebut serta mewariskannya
kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan kehidupan yang
terjadi dalam proses pendidikan. Sedangkan di dalam GBHN tahun 1973 yang
dikutip oleh (Fuad Ihsan, 2003:5) pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar
untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan
berlangsung seumur hidup. Tujuan utama dalam pendidikan adalah mencapai
perkembangan individu secara menyeluruh. Perkembangan individu secara
menyeluruh berarti individu tersebut dapat berkembang pada aspek fisik, mental,
social, emosional, dan spritualnya secara baik. Tiap-tiap Negara memiliki
peraturan perundang-undangan sendiri. Semua tindakan yang dilakukan di Negara
itu didasarkan pada perundang-undangan tersebut. Bila ada sesuatu tindakan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan itu, maka dikatakan tindakan
itu melanggar hukum, dan orang bersangkutan akan di adili. Oleh sebab itu,
tindakan dikatakan benar bila sejalan atau sesuai dengan hukum yang berlaku di
Negara bersangkutan. Negara Republik Indonesia mempunyai berbagai peraturan
perundang-undangan yang bertingkat, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang, peraturan pemerintah, ketetapan, sampai dengan surat keputusan.
Semuanya mengandung hukum yang patut ditaati, dimana Undang-Undag Dasar 1945
merupakan hukum yang tertinggi. Sementara itu peraturan perundang-undangan yang
lain harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar 1945. Diantara peraturan
perundang-undangan RI, yang paling banyak membicarakan pendidikan adalah
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003.Sebab undang-undang ini disebut sebagai
induk peraturan perundang-undangan pendidikan. Undang-undang ini mengatur pendidikan pada umumnya, artinya segala
sesuatu berkaitan dengan pendidikan, mulai dari prasekolah, sampai dengan
pendidikan tertinggi ditentukan dalam undang-undang ini.
Tujuan pendidikan menurut UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003, bab II pasal 3 bertujuan mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, moral, berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan merupakan
sesuatu yang ingin dicapai oleh kegiatan pendidikan, adalah suatu yang logis
bahwa pendidikan itu harus dimulai dengan tujuan yang diasumsikan sebagai
nilai. Beranjak dari tujuan pendidikan nasional tersebut, kemudian dalam
penelitian ini dijabarkan lagi menjadi beberapa aspek-aspek nilai pendidikan
secara berurutan, yaitu:
(1). Beriman dan Bertakwa Kepada Tuhan yang Maha Esa
Manusia pada dasarnya hidup di dalam
suatu alam yang sacral, penuh dengan nilai-nilaidan dapat menikmati sakralitas
yang ada serta tampakdalam alam semesta. Hubungan manusia dengan penciptanya
terwujud dalam nilai keimanan.Orang yang memiliki keimanan disebut
beriman.Beriman artinya mempunyai iman (ketetapan hati), mempunyai keyakinan
dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”.Ketakwaan tidak dapat dipisahkan
dari keimanan.Keimanan mendasari ketakwaan seseorang, orang yang memiliki
ketakwaan disebut bertakwa.Bertakwa memiliki pengertian terpeliharanya diri
untuk tetap taat melaksanakan perintah-Nya. Orang yang bertakwa akan merasa
selalu diawasi gerak-geriknya oleh Tuhan sehingga dalam kehidupannya
selaluberusaha untuk melaksanakan tindakan yang mengarah kepada perintah-Nya
dan meninggalkan larangan-Nya. Jika setiap orang dalam kehidupan ini memiliki
ketakwaan dan keimanan yang tinggi, mengamalkan agamanya dengan baik dan benar
maka akan tercapai tujuan hidup manusia, yakni bahagia lahir dan batin. Sebagai
manusia yang beriman dan bertakwa maka harus memiliki sikap, sebagai berikut:
(1) menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, dan keadilan, (2) melaksanakan
perintah Tuhan, (3) menjauhi larangan-Nya (Siagian, 2007).
(2). Berakhlak Mulia
“Pendidikan adalah sebuah proses
transfer of value. Value yang dimaksud adalah nilai-nilai moral, seperti etika,
budi pekerti yang luhur, kejujuran dan sebagainya.”(Rinaldimunir, 2006).Semua
nilai-nilai moral ini sering dinamakan akhlak. Sehingga dapat dikatakan bahwa
pendidikan adalah proses pembentukan karakter yang berakhlak mulia, yaitu
membentuk manusia untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam setiap
langkah kehidupannya. “Akhlak adalah budi pekerti; kelakuan.” Hal ini
menandakan bahwa akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.Nilai-nilai yang
dijunjung tinggi adalah kasih sayang, kebenaran, kebaikan, kejujuran, amanah,
dan tidak menyakiti orang lain.
(3). Moral.
Moral
menurut Salam (2000:12) adalah ilmu yang mencari keselarasan
perbuatan-perbuatan manusia (tindakan insani) dengan dasar-dasar yang
sedalam-dalamnya yang diperoleh dengan akal budi manusia. Dalam kamus Besar
Bahasa Indonesia bahwa moral merupakan ajaran tentang baik buruk perbuatan dan
kelakuan mengenai akhlak, budi pekerti,
kewajiban, dan sebagainya (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2009: 327)
Moral
merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral
juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan, dan kelakuan (akhlak).
Demolarisasi berarti kerusakan moral. Moral juga dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu :
a.
Moral murni, yaitu moral yang terdapat
pada setiap manusia, sebagai suatu pengejawantahan dari pancaran ilahi. Moral
murni disebut juga hati nurani.
b. Moral
terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran berbagai ajaran, agama, adat
yang menguasai pemutaran manusia (Agus, 2011)
Kata
moral selalu mengacu kapada baik buruk manusia. Sikap moral disebut juga
moralitas yaitu sikap hati seseorang yang terungkap dalam tindakan lahiriah.
Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih dan
hanya moralitaslah yang dapat bernilai secara moral. Nilai moral dapat
diperoleh di dalam nilai moralitas. Moralitas adalah kesesuaian sikap dan
perbuatan dengan hukum atau norma batiniah, yakni dipandang sebagai kewajiban.
(4). Berilmu
Psillos dan Curd (2008) Menurut pendapat Psillos dan Curd,
ilmu adalah pemikiran yang berkaitan dengan perkara-perkara filosofis dan
mendasar dari sebuah wawasan. Ilmu merupakan hal yang sangat
penting dalam hidup untuk memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan. Adapun
ciri-ciri orang berilmu (Gym, 2007), yaitu: (1). orang yang berilmu mampu
mengambil hikmah dari suatu peristiwa, (2). memperoleh kedamaian dalam hidupnya
karena mampu menyikapi setiap masalah secara bijaksana, (3). mampu
menggunakannya untuk kebaikan, dan (4). orang yang berilmu, berhasil dan sukses
dalam hidupnya.
(5). Cakap
Moeliono
(2008:236) menyatakan bahwa cakap berarti sanggup melakukan sesuatu, serta Orang disebut cakap jika orang itu pandai
menggunakan daya akal dan pikirannya dengan baik sehingga pekerjaan yang
dilakukan dapat berlangsung dengan cepat dan lancer. Sedangkan Menurut Anwar (2004:54), kecakapan
hidup adalah kemampuan yang diperlukan untuk berinteraksi dan beradaptasi
dengan orang lain, dan masyarakat atau lingkungan dimana ia berada antara lain
keterampilan mengambil keputusan, pemecahan masalah, berfikir kritis, berfikir
kreatif, berkomunikasi yang efektif, membina hubungan antar pribadi, kesadaran
diri, berempati, mengatasi emosi, dan mengatasi stres.
Menurut Mawardi (2012:287), life skill atau
kecakapan hidup sebagai kontinum pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh
seseorang untuk berfungsi secara independen dalam kehidupan.
Orientasi pendidikan dalamupaya
pembentukan pribadi yang cakap secara khusus memiliki tujuan sebagai berikut:
(1) Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga
dapat digunakan untuk memecahkan problem yang diadapi.
(2) Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk
mengembangkanpembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan dengan prinsip
pendidikanberbasis luas.
(3) Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya
dilingkungan sekolah denganmemberi peluang pemanfaatan sumber daya yang ada
dimasyarakat (Uswatun 2011).
(6). Kreatif
Kreatif adalah memiliki daya cipta,
memiliki kemampuan untuk menciptakan, bersifat (mengandung) daya cipta.
(Moeliono, 2008:739). Orang yang kreatif merupakan orang yang terus menerus
membuat perubahan dan perbaikan secara bertahap pada pekerjaan meraka. Salah
satu ciri orang yang kreatif adalah ia mampu memunculkan beragam alternatif
dari permasalahan yang dihadapinya. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh
para ahli psikologi terhadap orang-orang yang berpikir kreatif telah
menghasilkan beberapa kriteria atau cirri-ciri orang yang kreatif.
Dalam (Duwi Santoso 2013), Penelitian
terhadap para penulis dan arsitek yang kreatif melalui identifikasi oleh
anggota profesi mereka menghasilkan, bahwa orang yang mempunyai kreatifitas
yang tinggi itu cenderung memiliki ciri-ciri: fleksibel, tidak konvensional,
eksentrik (aneh), bersemangat, bebas, berpusat pada diri sendiri, bekerja
keras, berdedikasi dan inteligen. Menurut
Utami Munandar (2009: 12), bahwa kreativitas adalah hasil interaksi antara
individu dan lingkungannya, kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan
data, informasi, atau unsur-unsur yang sudah ada atau dikenal sebelumnya, yaitu
semua pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh seseorang selama hidupnya
baik itu di lingkungan sekolah, keluarga, maupun dari lingkungan masyarakat.Kreatif
dimulai dengan rasa ingin tahu dan keterbukaan terhadap hal-hal baru dan
didasari dengan sikap yang bersemangat dan keberanian untuk mengambil resiko
(Duwi Santoso 2013).
(7). Mandiri
“Mandiri adalah keadaan
dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain” (Moeliono, 2008: 873),
sedangkan Menurut
Monks, dkk (dalam Astuti, 2013) mengatakan bahwa orang yang mandiri akan
memperlihatkan perilaku yang eksploratif, mampu mengambil keputusan, percaya
diri dan kreatif. Selain itu juga mampu bertindak kritis, tidak takut berbuat
sesuatu, mempunyai kepuasan dalam melakukan aktifitasnya, mampu menerima
realita serta dapat memanipulasi lingkungan, berinteraksi dengan teman sebaya,
terarah pada tujuan dan mampu mengendalikan diri.
(8). Demokratis
Moeliono (2008: 310) menyatakan bahwa
demokratis adalah bersifat demokrasi, berciri demokrasi, yaitu gagasan atau
pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan
yang sama bagi semua warga Negara. Dalam demokratis antara satu orang dengan
yang lainnya relative memiliki perlakuan yang sama antara pemimpin dan dipimpin
yang saling mendukung untuk menciptakan kehidupan bersama. Adapun ciri orang
yang memiliki jiwa demokratis menurut Sukonto (2005:18), yaitu: (1) memiliki
rasa hormat terhadap sesama dalam hidup manusia yang majemuk dan menjaga
keharmonisan hubungan antara sesama manusia, (2) bersikap kritis terhadap
kenyataan sosial, budaya, politik serta kritis terhadap pelaksanaan
pemerintahan Negara, (3) bersikap terbuka menghargai terhadap hal-hal baru, (4)
memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara bebas dan rasional.
(9). Bertanggung Jawab
Pada hakikatnya adalah makhluk yang
bertanggung jawab.Disebut demikian karena manusia selain makhluk individual dan
makhluk sosial juga makhluk Tuhan. Manusia mempunyai tuntutan yang besar untuk
bertanggung-jawab mengingat ia mementaskan jumlah peranan dalam konteks sosial,
individual ataupun teologis. Moeliono (2008:1398) menyatakan bahwa
bertanggung-jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau
terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb). Sedangkan Menurut Mustari (2014: 19)
Menurut Mustari, definisi tanggung jawab ialah sikap dan perilaku seseorang
dalam menjalankan tugas serta kewajibannya sebagaimana yang seharusnya
diterapkan terhadap diri sendiri,, masyarakat, lingkungan dan negara serta
Tuhan.
Tanggung jawab berarti juga berbuat
sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.”Masalah tanggung jawab dalam
konteks individual berkaitan dengan konteks teologis.Manusia sebagai makhluk
individual artinya harus bertanggung jawab terhadap dirinya. Tanggung jawab
manusia terhadap dirinya akan lebih kuat intensitasnya apabila ia memiliki
kesadaran yang mendalam. Tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya timbul karena
manusia sadar akankeyakinannya terhadap nilai-nilai yang bersumber dari ajaran
agama. Tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia adalah keberanian. Orang
yang bertanggung jawab adalah orang yang berani menanggung resiko atas apa yang
menjadi tanggung jawabnya.
C.
Sosiologi Sastra
Sosiologi
sastra merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari
atau mengenai sastra karya para kritikus dan sejarawan yang terutama
mengungkapkan pengarang yag dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat
ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang
ditujunya (KBBI, 2005 :1085). Damono (1978:6) memberikan definisi sosiologi
sastra sebagai telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat.
Sosiologi sastra berhubungan dengan masyarakat dalam menciptakan karya sastra
tentunya tak lepas dari pengaruh budaya tempat karya sastra dilahirkan. Menurut
Wellek dan Warren dalam Damono (1978:3) hubungan sastra yang erat kaitannya
dengan masyarakat. Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Sastra
mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan pengarang, sastra tak bisa tidak
mengekspresikan pengalaman dan pandangan tentang hidup. Tetapi tidak benar bila
dikatakan bahwa pengarang secara kongkret dan menyeluruh mengekspresikan
perasaannya. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah
perekonomian, keagamaan, politik, yang semua itu merupakan struktur sosial
merupakan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan
lingkungan tentang mekanisme sosialisasi proses pembudayaan yang menempatkan
anggota yang ditempatnya masing-masing. Untuk memhamai karya secara lengkap,
Grebstein ( Damono 1978:4) menyakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami
selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau
perdaban yang telah menghasilkannya. Grebsein dalam (Damono 1978:4).
Sebagai
mana sosiologi sastra berusaha dengan manusia dalam masyarakat dalam usaha
manusia menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Maka
karya sastra perlu dipelajari dalam konteks
yang seluas luasnya. Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural
yang rumit atau kompleks dan bagaimana pun, karya sastra bukan suatu gejala
yang tersendiri. Menurut Damono (1978:8) perbedaan yang ada antara sosiologi
dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedagkan
karya sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan
cara-cara manusia menghayati masyarakat dan perasaanya. Sosiologi bersifat
kognitif, sedangkan sastra bersifan afektif. Masalah pokok sosiolgi sastra
adalah karya sastra itu sendiri, sebagai aktifitas kreatif dengan ciri yang
berbeda-beda (Ratna, 2003:8). Sebuah miniatur, karya sastra berfungsi untuk
menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan
dalam pola-pola kreatifitas dan imaji. Karya sastra memiliki tujuan akhir yang
sama, yaitu sebagai motivator ke arah aksi sosial yang lebih bermakna, sebagai
pencari nilai-nilai kebenaran yang dapat mengangkat dan memperbaiki situasi dan
kondisi alam semesta (Ratna,2003:35-36).
Sosiologi sastra merupakan kajian
ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, mengenai lembaga, dan
proses social. Sosiologi mengkaji stuktural social termasuk didalamnya
perubahan-perubahan social yang mempelajari lembaga social, agama, ekonomi,
politik, dan sebagainya bersamaan dan membentuk struktur social guna memperoleh
gambaran tentang bagaimana caranya agar manusia dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, pandangan kemasyarakatan dan kebudayaan. Sebagaimana sosiologi sastra berhubungan dengan manusia,
karena keberadaannya dapat dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat itu
sendiri. Sastra sebagai lembaga social yang menggunakan Bahasa sebagai
mediumnya karena Bahasa merupakan wujud dari ungkapan social yang menampilkan
gambaran kehidupan.
Sosiologi sastra berasal dari kata
sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sosio (Yunani) (socius
anggota) dan logi (logos berarti sabda, perumpamaan). Kemudian dalam
perkembangannya mengalami perubahan makna, sosio/socious berarti masyarakat,
logi/logos berarti ilmu mengenai usul dan pertumbuhan masyarakat, ilmu
pengetahuan. Sastra berasal dari kata sas (sansekerta) berarti menujukan cara
mengajar, memberikan petunjuk akhiran tra berarti sebagai alat, sarana. Jadi
sastra adalah kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau pengajaran yang
baik.
Secara pasti sosiologi sastra adalah
analisis, karena berbicara tentang karya sastra dengan mempertimbangkan dari
segi kemasyarakatannya. Sifatnya sangat luas karena memberikan kemungkinan
untuk menganalisis karya sekaligus dalam kaitannya dengan unsur-unsur intrinsic dan ekstrinsik,
aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung dalam karya demikian juga sebagai
aspek-aspek kemasyarakatan sebagai latar belakang social proses yang kreatif. (Ratna,2011:24) Ratna (2003:25) mengatakan ,
sosiologi sastra adalah penelitian yang meneliti karya sastra dan keterlibatan
terhadap unsur-unsur sosialnya dengan demikian penelitian sosiologi sastra
dilakukan dengan cara memberikan pemaknaan yang berkaitan dengan latar belakang
suatu masyarakat serta perubahan yang terjadi di dalamnya.
Pada dasarnya karya sastra
menceritakan tentang persoalan-persoalan yang menyangkut manusia. Dengan
demikian secara langsung atau tidak langsung pengarang telah mengungkapkan persoalan social di dalam karyanya tersebut.
Hal itu dipengaruhi oleh apa yang dirasakan, dilihat dan dialami dalam
kehidupan sehari-hari. Kehadiran sastra mempunyai peranan penting dalam
membentuk struktur masyarakatnya. Pengarang dan karyanya merupakan dua sisi
yang tidak dapat dipisahkan dalam membicarakan sebuah karya sastra. Menurut
Ratna (2010:277) bahwa pengarang merupakan masyarakat pertama yang berada di
dalam karya sastra, keberadaannya tetap tidak berubah karena keberadaannya
adalah proses sejarah. Kemudian Masyarakat yang kedua dihuni oleh tokoh-tokoh
rekaan, sebagai manifestasi subjek pengarang.
D.
Sosiologi Sebagai Pendekatan Sastra
Pendekatan sosiologi sastra yaitu pendekatan terhadap
sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Sosiologi sastra sebagai
pendekatan pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosio sastra atau
pendekatan sosikultural terhadap sastra. Pada pokoknya kedua pendekatan
tersebut menunjukan satu kesamaan yaitu memberi perhatian terhadap sastra
sebagai lembaga social yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota
masyarakat (Damono dalam Wahyuningtyas dan Wijaya, 2011:26). Sejalan dengan
pengertian Damono mengenai pendekatan sosiologi sastra, Ratna (2011:61)
mengungkapkan pendekatan sosiologis juga memiliki implikasi metodologis berupa
pemahaman mendasar mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat.
Pendekatan sosiologis dapat digunakan untuk membantu
memahami gender, feminis, status peranan, wacana social, dan sebagainya.
Melalui pendekatan sosiologi sastra juga dapat dicari aspek-aspek social dari
karya sastra tersebut. Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan yang mempelajari kehidupan
manusia dalam masyarakat. Sosiologi sastra juga memberikan perhatian terhadap
sastra sebagai lembaga social yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota
masyarakat. Selain digunakan untuk menganalisis kehidupan manusia dalam
masyarakat, pendekatan sosiologi juga dapat digunakan untuk memahami gender,
feminis,status peranan, wacana social, dan sebagainya.
Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan
saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan
landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Dalam hal
itu tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal
dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal
usulnya.
Santosa dan
Wahyuningtyas (2011,hlm. 24) menyatakan, karya sastra itu unik karena merupakan
perpaduan antara imajinasi pengarang dengan kehidupan social yang kompleks.
Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa karya sastra dapat dianggap sebagai
cermin kehidupan social masyarakatnya karena masalah yang dilukiskan daam karya
sastra merupakan masalah-masalah yang ada di lingkungan kehidupan pengarangnya
sebagai anggota masyarakat.
E. Klasifikasi Sosiologi Sastra
a. Konteks sosial pengarang. Hal ini
berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya
dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa memengaruhi
pengarang sebagai perorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1
Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
yang kualitatif yakni penelitian dengan prosedur analisis yang tidak
menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.
Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya membangun pandangan mereka yang diteliti
rinci, dibentuk dengan kata-kata, pandangan holistik yang rumit (Moleong
2010:4).
Metodologi kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Berdasarkan uraian
di atas metode penelitian yang tepat untuk novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany adalah metode kualitatif yang
bersifat deskriptif. Dengan alasan pendekatan kualitatif merupakan prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis.
3.2
Data dan Sumber Data
3.2.1.
Data
Data penelitian ini adalah data yang berupa teks novel, ungkapan
dan kalimat yang menunjukan pada nilai-nilai pendidikan dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany.
3.2.2
Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini
adalah novel Isinga karya Dorothea
Rosa Herliany.PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2015.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Untuk
mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik kepustakaan, teknik baca, dan
teknik catat.Teknik kepustakaan merupakan teknik yang menggunakan sumber-sumber
tertulis berupa buku yang berkaitan dengan feminisme untuk memperoleh data.
Teknik
catat yaitu, penulis membaca dan mencatat secara saksama, teliti dan cermat
terhadap sumber data yaitu, karya sastra novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany untuk memperoleh data yang
diinginkan lalu dicatat. Pada saat membaca penulis mencatat bagian-bagian yang
berupa kata, kalimat yang ditemukan dalam Isinga
karya Dorothea Rosa Herliany yang menjelaskan nilai-nilai pendidikan dalam
novel tersebut, dan kemudian diberi pengkodean.
3.4
Teknik Analisis Data
Analisis
data bertujuan untuk menyusun data dalam cara yang bermakna sehingga dapat
dipahami. Dalam penelitian ini digunakan analisis data menggunakan analisis
deskriptif. Adapun prosedur analisis adalah sebagai berikut: (1) membaca novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany
secara baik; (2) mengidentifikasi dan mengklasifikasi data sesuai fokus
penelitian (3) menginterpretasi dan menampilkan data nilai pendidikan dan (4)
menarik kesimpulan.
3.5
Pengecekan Keabsahan Data
Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi teori.Langkah yang peneliti
lakukan dengan triangulasi teori, yaitu membandingkan data yang dikumpulkan
dengan beberapa teori yang relevan sehingga menemukan data yangakurat, seperti
membandingkan teori yang peneliti pakai dengan data yang dikumpulkan.
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
Hasil
Penelitian
a.
Nilai-nilai
Pendidikan Dalam Novel Isinga Karya Dorothea Rosa Herliany
1.
Moral
Moral menurut Salam (2000:12) adalah ilmu
yang mencari keselarasan perbuatan-perbuatan manusia (tindakan insani) dengan
dasar-dasar yang sedalam-dalamnya yang diperoleh dengan akal budi manusia. Moral
merupakan pengetahuan menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral juga
berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan, dan kelakuan (akhlak).
Hal
tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Kedua manusia itu ditendang. Tenaga laki-laki. Perasaan marah. Tendangan. Malom
terasa sangat sakit. Malom lalu memukuli kepala Lepi. Lepi tak bisa melakukan
serangan balasan. Malom memukulnya sekali lagi dengan tenaga yang lebih kuat.
Irewa sudah berdiri. Malom menempeleng kepala Irewa. Irewa juga dengan mudah.
Malom menendang tubuh Irewa yang sudah terjatuh ke tanah. Perut Irewa diinjak
dengan kedua kaki. Lalu Lepi dipukul sekali lagi. Ditendang sekali lagi. Puas.
Malom lalu pergi meninggalkan keduannya. Lepi dan Irewa sama sakit tak terkira.
Hidung berdarah. Lecet-lecet. Rasa nyeri. Tulang-tulang terasa ada yang patah.
Irewa merasa seperti akan pingsan.”(I:79)
Malom juga
merupakan laki-laki yang sangat kasar dan memiliki moral yang sangat buruk atau
tidak baik. Hal ini dapat dilihat ketika Malom tidak bisa mengendalikan dirinya
ketika sedang marah. Sehingga Ia memukuli Lepi dan Irewa. Maka dari itu, kita
perlu belajar mengontrol emosi dan belajar bermoral yang baik. sehingga tidak
memberikan dampak buruk terhadap kehidupan orang lain. Malom memiliki moral
yang buruk atau tidak baik sehingga ia tetap memarahi Irewa untuk terus
bekerja. Hal ini dapat dilihat ketika Irewa tetap menerima perlakuan seperti
kekerasan fisik yang dilakukan oleh Malom setiap hari. Hal tersebut dapat
dilihat dalam kutipan Novel berikut.
“pada hari keempat, Irewa belum juga
sembuh dari sakitnya. Malom mulai memarahinya. Irewa bilang, ia merasa tidak
ada tenaga untuk bekerja. Malom mengatakan betatas harus selalu ada. Ia lapar.
Babi-babi harus di beri makan. Irewa menjelaskan tentang sakitnya. Malom kesal.
Irewa di anggap banyak bicara. Mulut Irewa yang sedang bicara itu ditamparnya.
Malom bilang, besok Irewa harus sudah pergi ke kebun lagi” (I:73).
Irewa
sudah menduga malom akan marah. Irewa
menjawab, “hamang nenaeisele emei
roibuyae helemende” yang artinya makanan tidak datang dengan sendirinya,
tetapi harus diusahakan. Maksud kalimat itu untuk menyindir. Irewa sebenarnya
tidak bermaksud melawan Malom. Tapi memang ia ingin memberi teguran halus, dan
Malom marah sekali mendapat sindiran itu. Emosi yang tidak terkontrol dilakukan
oleh Malom untuk Irewa dikarenakan Malom memiliki moral yang kurang baik hal
ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
“Malom
marah. Irewa sudah menduga Malom akan marah. Irewa menjawab,hamang nenaeisele
emei roibuyae helemende yang artinya makanan tidak datang dengan sendirinya,
tetapi harus diusahakan. Ini sebetulnya kata-kata biasa yang juga sering
diucapkan para mama di Hobone untuk anaknya. Maksud kalimat itu untuk
menyindir. Irewa sebenarnya tidak bermaksud melawan Malom. Ia tahu apa yang
akan dialaminya kalau melawan. Tapi memang ia ingin sedikit memberi teguran
halus. Irewa melihat laki-laki lain di zaman sekarang mulai bekerja. Tidak diam
saja seperti dilakukan Malom. Malom marah sekali mendapat sindiran itu. Dengan
cepat ia mendekat ke Irewa. Bibir Irewa ditampar keras. Setelah itu Irewa dipukuli. Saat tubuh Irewa
jatuh, ia ditendang berkali-kali. Irewa tak sempat membalas atau mengelak
karena Malom mendekat padanya dengan sangat cepat. Irewa tersungkur. Tubuhnya
meringkuk di tanah. Kedua kakinya terlipat. Tangan kanan dan kiri menyilang di
pundak. Menahan segala kesakitan. Seluruh tubuhnya nyeri”.(I:138)
2.
Mandiri.
“Mandiri
adalah keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain”
(Moeliono, 2008: 873), sedangkan Menurut Monks, dkk (dalam Astuti, 2013) mengatakan
bahwa orang yang mandiri akan memperlihatkan perilaku yang eksploratif,
mampu mengambil keputusan, percaya diri dan kreatif. Selain itu juga mampu
bertindak kritis, tidak takut berbuat sesuatu, mempunyai kepuasan dalam
melakukan aktifitasnya, mampu menerima realita serta dapat memanipulasi
lingkungan, berinteraksi dengan teman sebaya, terarah pada tujuan dan mampu
mengendalikan diri.
Irewa
adalah perempuan yang kuat, ia tidak pernah bergantung pada siapapun, ia tetap
percaya diri dan tetap menjalankan tugasnya sendiri. Hal inilah yang terkandung
dalam kutipan.
“ kalau pagi Irewa mendayung
perahu, pergi ke tengah danau menjaring ikan. Setelah mendapat ikan, ia pulang.
Ikan dikeringkan. Nanti akan di masak untuknya dan Malom. Setelah itu, Irewa
pergi ke kebun yaang letaknya jauh. Tanah dibersikan. Dari alang-alang dan
segala tanaman pengganggu. Jika ada ulat atau serangga dibuang. Ia lalu memetik
sayur yang sudah bisa di panen untuk dibawah pulang.”(I:64)
“ Dua atau tiga kali
dalam seminggu Irewa harus pergi ke hutan sagu untuk merawat pohon sagunya. Ia
akan berjalan kaki menuju danau. Lalu naik perahu. Mendayung. Lalu jalan kaki
lagi, baru tiba di kebun sagu. Disana sudah menunggu banyak pekerjaan yang
harus dilakukan. Membersikan semak-semak belukar. Mengumpulkan. Membiarkan
kering dulu, lalu membakarnya. Kebun sagu yang harus dalam keadaan bersih agar
hasil sagu nanti bisa baik. Lalu meremas sagu kalau tiba waktu panen. Untuk
saja merawat kebun. Sagu tidak harus dilakukan setiap hari. Irewa kadang
mengambil daun pandan hutan saat berada di hutan sagu. Jika ada sisah waktu di
sore hari, daun pandan itu di anyam. Dan di buat tikar. Begitulah kurang lebih
hidup yang di jalani Irewa.”(I:64-65)
Irewa merupakan perempuan yang kuat
dan mandiri dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang perempuan. Istilah
kemandirian menunjukan adanya kepercayaan akan sebuah kemampuan dalam
menyelesaikan masalah tanpa bantuan dari orang lain . Ia dapat menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapinya, mampu mengambil keputusan sendiri, mempunyai
inisiatif dan kreatif, tanpa mengabaikan lingkungan di sekitarnya.
3. Bertanggung Jawab.
Manusia
mempunyai tuntutan yang besar untuk bertanggung jawab mengingat ia mementaskan
jumlah peranan dalam dalam konteks social, individual maupun teologis. Moeliono
(2008:1398) menyatakan bahwa bertanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung
segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan, dsb). Sedangkan Menurut Mustari (2014:
19)
Menurut Mustari, definisi tanggung jawab ialah sikap dan perilaku seseorang
dalam menjalankan tugas serta kewajibannya sebagaimana yang seharusnya
diterapkan terhadap diri sendiri,, masyarakat, lingkungan dan negara serta
Tuhan.
Seperti
yang terdapat dalam Novel tentang nilai bertanggung jawab yang dapat dimiliki
oleh seorang tokoh Irewa dapat dilihat pada kutipan berikut.
“ pekerjaan bertambah berat dengan adanya
Merry dan Kiwana yang masih kecil itu, tanggung jawab tentang anak dan tentang
makanan, adalah tanggung jawab perempuan. Laki-laki Megafu tidak pernah
mengurus dua hal itu. Karena semua itu, Irewa jatuh sakit. Bagian dalam di
kelopak matanya pucat. Kulitnya juga pucat kekuningan” (I:72)
Tanggung
jawab manusia terhadap dirinya akan lebih kuat intensitasnya apabila ia
memiliki kesadaran yang mendalam. Tanggung jawab adalah kesadaran seseorang
terhadap perbuatan maupun perilaku yang secara sengaja. Orang yang bertanggung
jawab adalah orang yang berani menanggung resiko atas apa yang menjadi tanggung
jawabnya. Sehingga dalam Novel Isinga, seorang tokoh Irewa memikirkan tanggung
jawab yang sangat besar, ia juga memiliki keinginan dan tanggung jawab yang
seimbang karena perempuan di Megafu tidak lagi dihargai.
Hal tersebut
dapa dilihat pada kutipan berikut.
“Irewa
melihat dirinya lagi. Lalu anak-anak. Tanggung jawab! Ah! Irewa sekarang
memikirkan tentang tanggung jawab manusia. Kini timbang- menimbang antara
keinginan dan tanggung jawab. Irewa lalu ingat pada anak-anaknya. Ia sangat
menyayangi mereka. Ah! Irewa marah! Kini pada dirinya sendiri. Bagaimana
mungkin ia tega meninggalkan anak-anaknya?! tidak , kata Irewa. Ia menolak
keinginan kuat untuk bunuh diri. Irewa juga jadi ingat tentang hidupnya lagi.
Ia merasa harus menghargai dirinya sendiri. Di Megafu perempuan sudah tak
dihargai. Oleh karena itu, perempuan dihargai harus oleh perempuan itu sendiri.
Tak bias ia mengharapkan hal itu dari
orang lain”(I:142)
4. Cakap.
Moeliono
(2008:236) menyatakan bahwa cakap berarti sanggup melakukan sesuatu, mampu, serta
orang dapat disebut cakap, jika orang itu pandai menggunakan daya akal dan
pikirannya dengan baik sehingga pekerjaan yang dilakukan dapat berlangsung
dengan cepat dan lancar. Sedangkan,
Menurut Mawardi (2012:287), life skill atau
kecakapan hidup sebagai kontinum pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh
seseorang untuk berfungsi secara independen dalam kehidupan.
Penjelasan dalam kurikulum 2004,
mencari hidup adalah “ kecakapan yang dimiliki seseorang untuk memecahkan
masalah hidup secara wajar dan menjalani kehidupan secara bermartabat tanpa
merasa tertekan, kemudian secara proaktif menemukan solusi, sehingga akhirnya
mampu mengatasinya”. Seperti yang terdapat dalam novel Isinga, Irewa memiliki hambatan
untuk berjalan kaki menuju danau, lalu naik perahu, kemudian jalan kaki lagi tetapi
Ia mampu mengatasinya dalam melaksanakan suatu pekerjaan dua atau tiga kali
dalam seminggu untuk merawat pohon sagunya. terdapat dalam kutipan.
“ Dua atau tiga kali dalam seminggu Irewa harus pergi
ke hutan sagu untuk merawat pohon sagunya. Ia akan berjalan kaki menuju danau.
Lalu naik perahu. Mendayung. Lalu jalan kaki lagi, baru tiba di kebun sagu. Di
sana sudah menunggu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Membersikan
semak-semak belukar. Mengumpulkan. Membiarkan kering dulu, lalu membakarnya.
Kebun sagu harus dalam keadaan bersih agar hasil sagu nanti bisa baik. Lalu
meramas sagu kalau waktu panen. Untung saja merawat kebun sagu tidak harus
dilakukan setiap hari. Irewa kadang mengambil daun pandan hutan saat berada di
hutan sagu. Jika ada waktu sisah di sore hari, daun pandan itu dianyam dan
dibuat tikar. Begitulah kurang lebih hidup yang dijalani Irewa” (I:64-65)
5. Berilmu
Psillos dan Curd (2008) Menurut pendapat Psillos dan Curd,
ilmu adalah pemikiran yang berkaitan dengan perkara-perkara filosofis dan
mendasar dari sebuah wawasan. Ilmu merupakan hal yang sangat
penting dalam hidup untuk memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan. Adapun
ciri-ciri orang berilmu (Gym,2007), yaitu: 1. Orang yang berilmu mampu
mengambil hikmah dari suatu peristiwa, (2). Memperoleh kedamaian dalam hidupnya
karena mampu menyikapi setiap masalah secara bijaksana, (3). Mampu
menggunakannya untuk kebaikan, dan (4). Orang yang berilmu, berhasil dan sukses
dalam hidupnya.
Seperti yang terdapat dalam Novel Isinga, Irewa
menceritakan pengalamannya serta melakukan sesuatu dengan cara berfikir orang
lain khususnya perempuan pegunungan Megafu agar lebih menghargai hidup
perempuan itu sendiri. Perjuangan selanjutnya yang dilakukan Irewa adalah
mengubah pandangan orang lain tentang hal perempuan dengan cara menceritakan
pengalamannya saat terkena penyakit sifilis. Terdapat dalam kutipan tersebut.
“ Irewa kini sudah lebih menyadari
akan dirinya. Zaman dulu, yonime diminta menjaga keselarasan masyarakat di dua
kampung. Irewa kini berfikir, ia tak mau terikat hanya pada dua kampung itu
saja. Kebutuhan untuk waktu sekarang adalah, ia harus ikut memikirkan
keharmonisan pada tempat dimana ia berada saat ini. Irewa merasa terpanggil
untuk menjadi orang yang punya pengaruh mengubah pandangan orang lain” (I:157).
“Irewa mulai menyampaikan
pendapatnya tentang pelacuran. Ia menceritakan pengalamannya saat terkena
penyakit sifilis. Ia menceritakan walau perempuan hanya melakukan hubungan
badan dengan suami saja, terkena penyakit kelamin. Ia juga mengajak para
perempuan pedagang di pasar menjaga anak laki-lakinya hati-hati” (I:157)
Perjuangan Irewa terus berlanjut dengan melakukan
kegiatan dalam bentuk memberikan pengetahuan dan berbagi pengalaman kepada
perempuan di daerah-daerah pedalaman dengan dibantu oleh Jingi, saudara kembarnya
dan ibu Selvi, kepala desa di tempat tinggalnya. Terdapat dalam kutipan
tersebut.
“Irewa tetap meneruskan kegiatannya.
Menjaga keharmonisan. Kini dibantu Jingi, ia memberikan pengetahuan pada
perempuan di daerah-daerah pedalaman. Pengalaman yang disampaikannya pertama
kali di pasar itu di sampaikanya pula ke perempuan lain di tempat lain. Jingi
menambahi penjelasan dari segi kesehatan. Jingi dan Irewa terus bergerak dari
satu wilayah ke wilayah lain. Irewa mengatur waktunya mengerjakan itu saat
semua pekerjaan di rumah sudah diselesaikan” (I:159)
“Irewa lalu menceritakan
pengalamannya sendiri bahwa ia juga dulu pernah terkena penyakit sifilis. Sama
dengan dirinya, banyak perempuan di pedalaman yang tak tahu-menahu soal
penyakit itu. Lalu membiarkan saja. Tak tahu harus bagaimana. Diobati sendiri
dengan cara yang diajarkan nenek moyang dulu. Tapi tidak sembuh-sembuh. Mereka
tidak tahu kalau harus berobat ke dokter. Lalu akhirnya meninggal dunia.” (I:186)
6.
Berakhlak
Mulia.
Pendidikan adalah sebuah proses
transfer of value. Value yang dimaksud adalah nilai-niai moral, seperti etika, budi
pekerti yang luhur, kejujuran dan sebagainya. (Rinaldimunir,2006). Semua
nilai-nilai moral ini dinamakan akhlak. Sehingga dapat dikatakan bahwa
pendidikan adalah proses pembentukan karakter yang berakhlak mulia, yaitu
membentuk manusia untuk menjujung tinggi nilai-nilai moral dalam setiap langkah
kehidupannya. “Akhlak adalah budi pekerti;kelakuan.” Hal ini menandakan bahwa
akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi
adalah kasih sayang, kebenaran, kebaikan, kejujuran, amanah, dan tidak
menyakiti orang lain. Seperti yang terdapa dalam Novel tersebut.
“Aitubu akan
mengadakan upacara syukur karena baru saja terjadi tanah longsor yang melanda
empat dusun. Sekaligus akan diadakan upacara wit atau upacara inisiasi. Yakni upacara anak
masuk kea lam kedewasaan. Ada tiga anak laki-laki yang masih kecil-kecil akan
menjalani upacara wit. Umur mereka sekitar 8-10 tahun. Kedua upacara itu
diadakan agar anak-anak tumbuh sehat. Agar tanah longsor tak ada lagi. Agar
kebun menghasilkan betatas yang banyak. Agar babi-babi tumbuh dengan baik. Agar
masyarakat mendapat makanan cukup. Semua demi kemakmuran masyarakat Aitubu yang
terletak di Lembah Piriom.” (I:2)
Akhlak yang mulia adalah sebuah
keadaan yang melekat di dalam diri seseorang yang diwujudkan dalam
perbuatan-perbuatan yang baik dan positif bagi kehidupan dalam hal ini menjadi
kebiasaan di perkampungan Aitubu untuk menyelenggarakan upacara adat yang
besar. Yakni upacara Muruwal. Meage salah satunya yang mengikuti upacara Muruwal.
Upacara tersebut merupakan upacara rahasia untuk laki-laki yang diadakan hanya
sekali dalam dua puluh atau tiga puluh tahun. Hal tersebut dapat dilihat pada
kutipan berikut.
“Sekitar dua tahun
setelah upacara wit, perkampungan Aitubu menyelenggarakan upacara adat yang
lebih besar. Yakni upacara Muruwal. Ini adalah upacara paling penting di
seluruh Lembah Piriom. Sebuah upacara rahasia untuk laki-laki. Sakral. Diadakan
hanya sekali dalam dua puluh atau tiga puluh tahun. Mereka yang sudah di-wit
selanjutnya harus mengikuti upacara ini” (I:19)
“Ada sekitar tiga
puluh lima-an orang yang akan mengikuti upacara muruwal. Meage adalah salah
satunya. Sebelum upacara dilaksanakan, semua keluarga yang akan mengikuti
upacara menyiapkan berbagai bahan makanan, yakni betatas, keladi, sayur lilin,
kacang panjang, ketimun. Juga buah-buahan. Juga pisang,labu. Lalu beberapa ekor
babi. Kuskus. Katak. Ular. Burung. Cacing kayu. Belalang. Serangga. Juga
kayu-kayu. Semua dikumpulkan. Lalu diserahkan ke pelaksana upacara.” (I:19)
7.
Kreaktif.
Kreatif adalah memiliki daya cipta,
memiliki kemampuan untuk menciptakan,
bersifat (mengandung) daya cipta. (Moeliono,2008:739). Orang yang kreatif
merupakan orang yang terus menerus membuat perubahan dan perbaikan secara
bertahap pada pekerjaan mereka. Salah satu ciri orang yang kreatif adalah ia
mampu memunculkan beragam alternatif dari permasalahan yang dihadapinya.
Berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli psikologi terhadap
orang-orang yang berfikir kreatif telah menghasilkan beberapa kriteria atau
ciri-ciri orang yang kreatif.
Dalam (Duwi Santoso 2013), penelitian
terhadap para penulis dan arsitek yang kreatif melalui identifikasi oleh
anggota profesi mereka menghasilkan, bahwa orang yang mempunyai kreatifitas
yang tinggi itu cenderung memiliki ciri-ciri: Kreatif dimulai dengan rasa ingin
tahu dan keterbukaan terhadap hal-hal baru dan didasari dengan sikap yang
bersemangat dan keberanian untuk mengambil resiko (Duwi Santoso 2013).
Irewa mempelajari banyak hal. Hal
yang benar-benar baru bagi dirinya kalau perempuan Hobone harus menangkap ikan
menggunakan jaring. Jalanya harus dibuat sendiri kalau rusak harus diperbaiki
sendiri. Orang Hobone menangkap ikan dengan cara menyelam. Berhari-hari,
berminggu-minggu Irewa belajar mengatasi ketakutannya pada air. Ia harus
membiasakan diri dengan Danau Ilom untuk bisa masuk ke dalam air tanpa bantuan
apa-apa. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Pada hari-hari
awal Irewa tinggal di Hobone, Malom dan para laki-laki Hobone pergi ke hutan
untuk bergotong-royong membuat perahu
dari pohon soang ini. Untuk kayu bakar, Irewa diberi tahu sebaiknya ambillah
dari kayu garis, matoa, waru, atau kayu kasuari. Jenis-jenis itu jika dibakar,
kayunya bisa menyala dengan baik. (I:59)
Begitulah, Irewa
langsung mempelajari banyak hal. Hal
yang benar-benar baru baginya adalah seputar danau. Mama Fos Malom memberi
tahu, perempuan Hobone menangkap ikan dengan menggunakan jarring. Jalanya harus
dibuat sendiri dan kalau rusak harus diperbaiki sendiri. Kadang juga ada orang
Hobone yang menangkap ikan pada malam hari. Lebih sulit pasti. Juga dingin dan
gelap. Untuk penerang, mereka membawa obor yang terbuat dari pelepah sagu atau
pelepah kelapa. Cara yang lain adalah dengan menyelam. Irewa yang pernah hampir
mendapat celaka di sungai Warsor sangat ketakutan dengan soal menyelam ini.
Namun mama Fos mengatakan, “semua perempuan Hobone bisa menyelam dan kamu juga
harus bisa. Sekarang kamu orang Hobone katanya.”(I:59-60)
Berhari-hari,
berminggu-minggu, Irewa belajar mengatasi ketakutan pada air. Membiasakan diri
dengan air Ilom. Lalu, setelah itu berjam-jam ia belajar untuk bisa masuk ke
bawah air. Menyelam cara perempuan Hobone. Yaitu masuk ke dalam danau tanpa
bantuan apa-apa. Hanya menahan napas saja. Di situ Irewa belajar, bagaimana
menghemat napas. Mengeluarkan udara sedikit demi sedikit dari paru-paru.
Lama-lama Irewa jadi suka menyelam. Tak selalu ia bisa mendapatkan ikan. Irewa
juga sudah mampu mendayung perahu. Ini hal sehari-hari yang dilakukan perempuan
Hobone selain berkebun dan mengolah sagu.”(I:60).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
Nilai Moral yang ditunjuk oleh tokoh Malom
dalam novel Isinga adalah Ia sangat kasar dan sangat emosional bahkan tidak
bisa mengendalikan diri ketika sedang marah.
2.
Mandiri yang ditunjuk oleh tokoh Irewa
adalah dengan keadaan berdiri sendiri, ia tidak bergantung pada orang lain.
Irewa lebih mandiri, cenderung tentram
dalam menghadapi hidup dan memiliki mental yang kuat.
3.
Bertanggung jawab dalam novel Isinga yang
ditunjuk oleh seorang tokoh Irewa adalah Ia memiliki peranan penting sebagai
seorang perempuan yang sangat bertanggung jawab dengan pekerjaan dan
anak-anaknya.
4.
Cakap dalam novel Isinga yang ditunjuk
oleh seorang tokoh Irewa adalah Ia pandai untuk mengatur semua pekerjaan
sehingga semua dapat berjalan dengan cepat dan lancer.
5.
Berilmu dalam novel Isinga yang
menceritakan seorang tokoh Irewa adalah ia berjuang dan terus berlanjut dengan
melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan serta pengalaman yang
dialaminya.
6.
Berakhlak mulia dalam novel Isinga yaitu
membentuk manusia untuk menjunjung tinggi nilai moral dalam setiap
kehidupannya, salah satunya di perkampungan Aitubu diadakan upacara adat dan
upacara syukur.
7.
Kreatif dalam novel Isinga yaitu dimulai
dengan rasa ingin tahu dan keterbukaan terhadap hal-hal baru dan didasari
dengan sikap yang bersemangat dan keberanian untuk mengambil resiko dengan cara
menangkap ikan menggunakan jarring yang dilakukan oleh perempuan Hobone.
B.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian tentang sosiologi sasta
dalam Novel Isinga Roman Papua karya
Dorothea Rosa Herliany tinjauan sosiologi sastra dapat dikemukakan beberapa
saran sebagai berikut:
1.
Pembaca dapat menambah daya apresiasi
terhadap sastra Indonesia khususnya dalam Novel.
2.
Pembaca dapat meningkatkan kepribadian
mereka ketika membaca berbagai nilai pendidikan dalam Novel tersebut.
3.
Pembaca dapat mengambil hal-hal positif
yang dapat dijadikan sebagai contoh untuk hidup yang lebih baik dan bertanggung
jawab.
4.
Peneliti lain, dapat menambah pengetahuan
dan wawasan tentang karya sastra khususnya Novel.
DAFTAR PUSTAKA
Afand. 2013. Pengertian sehat, (Online),
(http://www.adafase.co.id, diakses selasa 10 maret 2014).
Gym. A. A. 2007. Kelebihan orang berilmu, (Online),
(http://www.wikipidia.com, diakses 11 maret 2014).
https://tirto.id/mengenal
-penelitian-kualitatif-pengertian-dan-metode-analisis
https://jendralgaram.com/jenis-jenis-novel/
Ihsan. F. H. 1995. Dasar-Dasar
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Jasman. 1993.
“Analisis Hubungan Unsur-unsur Novel Lho Karya Putu Wijaya”. Skripsi tidak diterbitkan.
Jambi: FKIP UNJA.
Kaswardi, EM. K.
(Ed). 1993. Pendidikan Nilai Memasuki
Tahun 2000. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia.
Moeliono, M. A.
(Eds). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mustofa. A. 1999. Ilmu
Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia.
Moleong, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Purba, A. 2010.Sastra
Indonesia Kontemporer. Yogjakarta: Graha Ilmu.
Purwanto, N. 1995.Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis.
Bandung: Remaja Rosdakarya Bandung.
Rinaldimunir.
2006. Esensi dari pendidikan adalah
akhlak yang mulia, (Online), (http://www.wordpress.com,
diakses selasa 10 maret 2014).
Sastrapadja, M. 1978. Kamus Istilah Pendidikan dan Umum. Surabaya: Usaha Nasional.
Santoso, D. 2013. Ciri-ciri berfikir kreatif (Online),
(http://www.galeri pustaka.com, diakses 07 april 2014).
Sukonto.2005. Panduan
Belajar SMA kelas 3. Primagama: Jambi
Siagian, E. dkk.
2007. Kebebasan beragama, (Online), (http://www.beriman.com,
diakses 11 maret 2014.
Uswatun, X2. 2011.
Pengertian cakap atau berkecakapan,
(Online), (http://id.shvoong.com, diakses 07 april 2014).
Woolfolk dan
Nicolich (1984). Educational Psychology
for Teachers. New Jersey: Printice Hall.
Sinopsis
:
“Matahari
dan bulan itu bagaikan dua bersaudara. Matahari adalah anak lelaki dan bulan
adalah anak perempuan. Bulan datang pada malam hari. Ia mengerjakan tanah.
Matahari datang pada siang hari. Ia menanam bibit. Dan bintang? Bintang adalah mata burung, mata kuskus, mata kodok,
sedangkan yang cahaya cemerlang itu masa manusia.”
Itulah kepercayaan
masyarakat Aitubu tentang bulan, bintang dan manusia. Sebuah upacara adat
penting sedang disiapkan di situ. Di perkampungan Aitubu. Sebuah perkampungan
yang orang-orangnya memakai hiasan di hidung.
Saat itu Aitubu
akan mengadakan upacara syukur karena baju saja terjadi tanah longsor.
Orang-orang Aitubu sudah menghuni bagian tengah papua, pulau besar berbentuk
burung, itu selama seratus tahun. Ada sebuah kampung yang menjadi tetangga
mereka, kampung Hobone. Kebiasaan dan
kehidupan sehari-hari keduanya sama. Perkampungan-perkampungan ini terletak di
daerah terpencil.
Di antara mereka
juga ada beberapa orang kulit putih. Dua pasang suami istri yang sudah dianggap
bagian dari masyarakat Aitubu. Pasangan pertama adalah pendeta Ruben dan
istrinya Marike. Berasal dari Jerman. Anak mereka dua, laki-laki dan perempuan,
masih kecil-kecil. Pasangan kedua adalah dokter Leon dan Lea, istrinya. Mereka
tidak punya anak. Pasangan ini berasal dari Jerman juga. Dokter Leon bekerja
mengobati penduduk yang sakit. Sehari-hari dibantu Suster Karolin, warga
Belanda. Kadang jika ada masalah kesehatan yang lebih gawat ada suster lain
yang didatangkan dari Manado. Suster Wawuntu namanya.
Pada upacara
tersebut para pemuda sangat sibuk. Beberapa menjinjing perlengkapan musik.
Meage, salah seorang pemuda Aitubu, memegang tifa. Ia siap menampilkan
kecakapannya memainkan tifa.
Masyarakat
Aitubu adalah sebuah keluarga besar.
Jika mereka melaksanakan upacara adat, seluruh isi perkampungan datang dan bahu
membahu menyiapkan acara.
Irewa ongge tampak
berlari-lari dari atas lerang gunung ke lapangan bawah. Gadis cilik ini lalu
bergabung di antara kerumunan banyak orang. Ia sendirian saja. Ibunya mama
Kame, sudah lebih dulu datang. Bapaknya, Bapa Lalobar, juga sudah pergi dari
pagi. Bersama para laki-laki dewasa lainnya, Bapa Lalobar menyiapkan segala keperluan
upacara.
Irewa kini
memerhatikan para penari yang sedang berjalan setengah berlari, sambil menari
dan menyanyi-nyanyi. Irewa lalu berlari mendekat kea rah bunyi suara tifa,
Meage sedang membunyikan tifa. Meage sangat terampil dalam memainkan tifa
tersebut.
Meage juga
merupakan anak angkat dari Dokter Leon dan istrinya Lea. Lea sudah mendambakan
anak sejak lama. Jadi sejak bayi, Meage diasuh bersama-sama oleh keluarganya sendiri dan keluarga dokter
Leon.
Suatu hari Irewa
dan mama Kame berkebun. Irewa mengatakan kepada mamanya ia ingin ke sungai,
mencuci sayur-sayuran itu karena berdebu. Sungai Warsor memang tampak
menyenangkan bagi seorang anak. Sungai itu panjang. Ainya jernih. Tak jauh dari
situ juga ada air terjun.
Irewa melangkah ke
tengah. Tapi Irewa tak tahu arus sungai ternyata makin kuat mengalir. Tiba-tiba
saja tubuhnya terjatuh. Tepat pada saat itu, Meage sedang akan melangkah ke
atas jembatan dan ia melihat tubuh perempuan dan tangannya yang
menggapai-gapai. Meage berlari dan menarik tangan Irewa. Irewa mengucapkan
terima kasih pada Meage.
Hari demi hari
berlalu, dan tumbuh perasaan suka yang mendalam dari hati kedua insan tersebut.
Hati Meage sudah mentap mengatakan ia mencintai Irewa. Beberapa waktu
sebelumnya, ada pemuda lain yang juga menyatakan diri menyukai Irewa. Malom Wos
namanya. Irewa sudah menolak cintanya. Irewa tidak menyukai orang seperti
Malom, apalagi Malom seperti orang yang tidak tau diri.
Meage ingin
melamar gadis cantik itu. Irewa pun menerima cintanya. Meage senang sekali. Ia
lalu pulang ke dusunnya dan memberitahukan mama dan neneknya. Meage lalu
mengatakan bahwa ia segera akan punya istri. Irewa, itulah perempuan yang
dipilihnya. Kedua, ia ke rumah dokter Leon dan mengatakan hal yang sama.
Berbagai ritual
tata cara pelamaran antara keluarga Meage dan keluarga Irewa dilaksanakan.
Irewa Ongge dan Meage Aromba. Keduanya saling bertatapan dan senyum.
Namun disamping
mempersiapkan acara lamaran, irewa di culik. Perkampungan Hobone dan
perkampungan Aitubu sudah lama saling bermusuhan. Malom dari Hobone menculik
Irewa. Ini memicu perang tak berkesudahan antara kampung Aitubu dan Hobone.
Perang
berkepanjangan pada akhirnya sampai di titik terjenuh. Pihak Hobone
berinisiatif mengajukan tawaran perdamaian agar warga Aitubu merestui Irewa
dipersunting Malom. Irewa dipilih untuk ditumbalkan sebagai yonime: juru damai
dari dua adat yang bertikai. “perempuan bisa menolak laki-laki saat dilamar”
tapi dia tak bisa menolak saat diminta seluruh penghuni perkampungan untuk
kepentingan perdamaian. Irewa tak kuasa melawan kehendak adat.
Sejak pertunangan
itu Irewa menepaki babak baru dalam hidupnya, hari-hari yang panjang sebagai
pesakitan. Menjadi jurudamai berarti memberi diri pada kepentingan adat.
Kepatuhan pada adat ikut melanggengkan penguasaan otoritas suami atas istri.
Hasrat Malom untuk memiliki banyak anak berakibat fatal pada Irewa. Tugas Irewa
sebagai istri bekerja di lading, hamil, dan melahirkan.
Sudah beberapa
hari Irewa merasa badannya mudah sekali merasakan lelah. Sering terengah-engah
ketika sedang bekerja. Napasnya terasa sesak. Kalau pagi ia seperti ingin
muntah. Kalau sedang di kebun, saat posisi tubuh membungkuk dan matahari
menyengat, kepalanya terasa pusing sekali. Irewa tidak berangkat ke kebun hari
itu. Sudah beberapa hari Irewa tidak melakukan apa-apa. Betatas di rumah sudah
habis sejak hari kemarin. Kiwana dan Mery (anak-anak) juga menangis karena
lapar, minta makan.
Pada hari keempat,
Irewa belum juga sembuh dari sakitnya. Malom mulai memarahinya. Irewa bilang,
ia merasa tidak ada tenaga untuk bekerja. Malom mengatakan betatas harus selalu
ada. Ia lapar. Babi-babi harus diberi makan. Irewa menjelaskan tentang
sakitnya. Malom kesal. Irewa dianggap banyak bicara. Mulut Irewa yang sedang
bicara itu ditamparnya. Malom bilang, besok irewa harus sudah ke kebun lagi.
Begitulah
hari-hari Irewa. Seperti sudah ditetapkan bahwa ia harus terus menerus bekerja.
Juga harus terus-menerus beranak. Setelah anak yang kedua itu, Irewa hamil
lagi. Tapi karena pekerjaan yang berat dan makan kurang, kembali Irewa
keguguran. Tak lama Malom mengajak bersetubuh lagi. Lalu Irewa hamil lagi. Anak
yang lahir dan hidup kali ini seorang anak laki-laki. Diberi nama Ansel. Jadi
pada waktu singkat Irewa sudah punya tiga orang anak.
Perempuan,perempuan,laki-laki. Irewa tahu perkara anak tak ada selesai. Irewa
harus terus menerus mau menerima ajakan Malom bersetubuh. Malom ingin anak
laki-laki sebanyak-banyaknya.
Saat Irewa hendak
ke kebun, ada seorang laki-laki yang mengintainya. Laki-laki itu bernama Lepi.
Mereka bertemu dan melakukan hubungan suami istri karena Lepi menggunakan
mantra yang didapatkan dari dukun. Hari berlalu gerak-gerik Irewa diketahui
oleh Malom. Suatu hari Malom mengikuti Irewa ke kebun dan melihat apa yang
dilakukan oleh Lepi terhadap Irewa. Ia pun memunculkan diri Irewa dan Lepi
kemudian ditendang. Malom memukul Lepi hingga Lepi tak mampu melakukan serangan
balik. Irewa yang sudah berdiri kembali dipukuli oleh Malom sehingga kembali
terjatuh. Malom menendang tubuh Irewa, perutnya diinjak oleh kedua kaki Malom.
Sejak peristiwa
itu, irewa sama sekali tidak bisa menolak ajakan bersetubuh dari Malom. Sejak
itu pula, Malom juga jadi lebih muda memukul Irewa.
Irewa jatuh sakit
lagi. Ia tak bisa pergi ke ladang. Musim kemarau panjang. Betatas di ladang
juga sudah tak ada yang bisa diambil. Betatas yang ada di rumah sungguh harus
dihemat. Malom lapar. Betatas matang tak ada. Ikan tak ada. Malom marah dan
memukul Irewa.
Tak peduli tubuh
lungkrah dan lemah. Hamper separuh buku ini mengisahkan malapetaka hidup Irewa
di bawah Jeratan kekerasan dan penindasan Malom. Makin banyak anak laki-laki,
tambah berharga dan bermartabak. Tanah luas dan
keturunan banyak. Anak laki-laki juga berguna agar prajurit mati ada
yang menggantikan. Keinginan Malom punya banyak anak berdalih warisan dan
kekuasaan. Anak laki-laki jadi tumpuan saat perang.
Irewa lalu
meninggalkan rumah. Ia sudah tak tahan lagi dengan perlakuan Malom. Irewa
merasa tidak sehat sebetulnya. Badannya merasa kedinginan. Menggigil. Demam.
Keringat keluar. Tapi ia memaksakan diri untuk pergi. Kali ini Irewa tidak
menuju ke kebun. Juga tidak ke sungai. Juga tidak ke danau. Tidak ke kebun
sagu. Tapi ke arah yang selama ini belum pernah ia tuju. Selatan.setelah itu
menuju timur jauh untung saja anak-anaknya tidak rewel.
Tak lama kemudian
Irewa sampai di dusun Eryas. Irewa sudah merasa lega. Ia teringat pada Meage
yang dulu tinggal di dusun itu. Eryas adalah dusun pertama Aitubu. Ia dan
anak-anaknya terus berjalan melewti sungai Warsor. Sungai yang dianggap
miliknya dan miliki Meage. Irewa ingat pada laki-laki yang dicintainnya itu.
Hati Irewa tambah
lega ketika kakinya sudah menginjak Dusun Kapo, tempat tinggalnya yang dulu.
Ada bangunan baru yang bentuknya seperti “sekolah setahun” yang didirikan pendeta Ruben dulu.
Mama Kame kaget
melihat keadaan Irewa. Mama dan anak itu berpelukan. Hanya sebentar, Irewa
langsung lemas. Terjatuh di lantai tanah. Ia pasti lelah kondisi tak sehat
ditambah melakukan perjalanan sangat jauh. Badannya layu seperti daun kena
matahari. Mama Kame pun kemudian memberi Irewa minum dan membaringkan Irewa
ditempat yang lebih enak.
Keesokan harinya,
Mama Kame kaget, tikar pandan yang dipakai oleh Irewa untuk tidur penuh dengan
darah. Wajahnya pucat dan keadaannya semakin parah. Mama Kame lalu lari ke
rumah sakit meminta pertolongan.
Disitu hanya ada
suster Wawuntu dan dibantu oleh seseorang yang masih muda. Perempuan. Mama Kame
menemui suster Wawuntu. Lalu menceritakan kondisi Irewa. Suster Wawuntu segera
mengambil peralatan, lalu pergi ke tempat mama Kame.
Suster Wawuntu pun
memeriksa kondisi Irewa dibantu oleh perempuan muda itu. Setelah perawatan
selesai dilakukan, suster Wawuntu memberi tahu, masa kritis sudah dilewati dan
Irewa akan segera pulih.
Setelah Irewa
pulih, suster Wawuntu memanggil perempuan muda itu dan memperkenalkannya kepada
mama Kame dan Irewa. Nama perempuan muda itu adalah Jingi Pigay. Jingi juga
diberitahu bahwa yang sedang bersama-sama dengan ia adalah mama Kame dan yang
sakit adalah Irewa Ongge.
“Jingi, Irewa dan
mama Kame, sebetulnya adalah sebuah keluarga. Ibu-anak” kata suster Wawuntu
tenang. Jingi kaget. Mama Kame kaget. Sama sekali tak mengerti.
Lalu suster
Wawuntu menyampaikan sebuah cerita panjang. Saat itu suster Wawuntu dan suster
Karolin yang membantu persalinan mama Kame. Pada waktu Mama Kame melahirkan,
kandugannya ada masalah. Dukun Aitubu tak bisa mengobati. Tak ada orang pandai
lain yang bisa membantu mengeluarkan bayi dalam kandungan.
Masalah yang
dialami Mama Kame pun dilakukan sebuah penanganan khusus. Penanganan berjalan
lancar. Bayi keluar dengan selamat. Ternyata bayi kembar. Itu masalah. Menurut
kepercayaan masyarakat di pegunungan Megafu, kalau ada bayi kembar, salah satunya
harus dibuang ke sungai atau dibunuh.
Suster Karolin dan suster Wawuntu tidak mau melakukan semua itu.
Suster Karolin dan
suster Wawuntu mengatur siasat bahwa bayi tersebut tidak akan dihanyutkan namun
ia akan dirawat dan diasuh oleh suster Karolin karena suster Karolin juga tidak
mempunyai anak. Si bayi kemudian diberi nama Jingi Pigay.
Walau tempat
tinggal suster Karolin dan mama Kame
tidak terlalu berjauhan, tapi mama Kame tidak pernah tahu bahwa bayi di rumah
suster Karolin adalah anaknya. Baru beberapa bulan mengasuh, suster Karolin
diminta oleh kantor pusat agar pulang ke negaranya Belanda karena ada masalah
yang harus di urus. Suster Karolin lalu menitipkan Jingi ke suster Wawuntu, tak
lama pula setelah itu, suster Wawuntu juga harus pulang ke kota asalnya Manado,
Jingi lalu dibawahnya ke Manado.
Jadi, Jingi tahu
bahwa dia punya dua ibu. Mama Karolin dan Mama Wawuntu. Dua suster itu saling
mendukung dalam hal biaya hidup dan biaya pendidikan Jingi. Sejak kecil, suster
wawuntu sering mengajak Jingi ke rumah sakit, tempat ia bekerja. Jingi mulai
menyukai pekerjaan menolong orang sakit. Ketika semakin besar, ia sering
membantu mama Wawuntu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ringan di rumah sakit.
Setelah selesai sekolah menengah, suster Wawuntu mendukung keinginan Jingi
mendalami bidang kesehatan.
“Inilah anak Mama
Kame yang dibuang dulu itu, Mama” kata suster Wawuntu pada mama Kame.
Diterangkan lagi,
sekarang Jingi sedang belajar di perguruan tinggi. Sekolah dokter di Manado.
Jingi datang ke Aitubu karena ikut Mama Wawuntu yang dipanggil ke desa itu. Ia
pun juga ingin melihat perkampungan yang sering diceritakan mamanya. Begitulah
suster Wawuntu mengakhiri cerita.
Mama Kame kaget.
Tak menyangka sama sekali. Perempuan muda dan cantik ini adalah anaknya
sendiri. Kembaran Irewa. Dia tampak lebih bersih dan segar.
Jingi pun kemudian
berpelukan dengan mama dan saudara kembarnya itu. Kehidupan Jingi dan Irewa
sangat berbeda. Jingi mendapat pendidikan bahkan tak ada kekusahan yang ia
alami. Irewa selalu mengalami kehidupan yang sangat memprihatingkan bahkan
Irewa harus menderita dengan perlakuan suaminya yang sama sekali tidak ia
cintai dan memperlakukannya dengan tidak adil.
Nestapa Irewa
kurang lengkap berkat ulah Malom yang gemar berkunjung ke pelacuran. Banyak
perempuan terjangkit penyakit kelamin lantaran suaminya kerap “jajan” dari
Malom inilah Irewa menemui sial karena terjangkit penyakit sifilis. Demikian
juga dengan banyak wanita. Sejak itu, Irewa merasa terpanggil memasuki dunia
aktivisme untuk mengentaskan perempuan Papua dari penderitaan dan
ketidaktahuan.
Penyakit kelamin
makin berkembang di bumi ini. Dunia mengenal penyakit baru bernama HIV-AIDS.
Penyakit ini melakukan perjalanan ke berbagai Negara. Sampai ke Indonesia.
Sampai ke pulau Papua.
Malom masih tetap
dengan sifatnya yang dulu. Senang pergi ke “kota” Distrik Yar. Agaknya ia sudah
merasa senang. Ia punya lingkaran pergaulan yang disukai. Tapi ia tetap
membutuhkan tempat untuk tidur dan makan. Karena itu ia tetap pulang ke rumahnya
yang jauh dari “kota”. Watak Malom masih buruk. Ia tetap kasar memperlakukan
Irewa. Kalau punya keinginan harus dipenuhi.
Malom tak bekerja.
Kalau ia menjual tanah, uang itu dipakainya untuk dirinya sendiri. Jadi Irewa
yang harus memikirkan semua kebutuhan keluarga. Suatu hari ada pendatang dari
lain perkampungan mencari-cari rumah yang bisa dijual. Malom tadinya tidak
punya pikiran untuk menjual rumah. Tapi, mendengar hal itu ia tertarik. Ia
berfikir, kalau saja pindah ke pusat “kota” distrik, maka ia tak harus pulang
ke rumahnya yang jauh itu. Irewa sebetulnya merasa lebih tenang tinggal
ditempatnya yang lama walau harus ia berjalan jauh untuk berdagang di pasar di
tengah “kota” Distrik Yar. Tapi, ia lalu berfikir lagi tentang sekolah
anak-anaknya.
Setelah mereka
sekeluarga pindah, irewa langsung mencarikan sekolah baru bagi mereka. Irewa
sendiri juga lebih dekat kalau akan melakukan kegiatan-kegiatannya.
Distrik Yar punya
camat atau kepala distrik baru. Camat lama baru saja diganti karena terbukti
melakukan korupsi. Penggantinya seorang perempuan, ibu Selvi Warobay. Dari
seorang warganya, Ibu Selvi mendengar tentang kegiatan yang dilakukan oleh
Irewa. Ibu Selvi juga merasa cemas dengan adanya penyakit ini di wilayah yang
menjadi tempat kerjanya. Suatu hari ia memanggil Irewa dan membicarakan hal
itu. Irewa pun mengajak Jingi saudaranya untuk bersama mambantunya.
Ibu Selvi
bercerita ia baru saja pulang dari pemakaman bayi laki-laki penderita
HIV-AIDS umur dua tahun. Ia tertular dari ibunya. Irewa sedih mendengar cerita
itu. Irewa menceritakan pengalamannya sendiri bahwa ia dulu juga pernah terkena
penyakit sifilis. Sama dengan dirinya, banyak perempuan dipedalaman yang tak
tahu-menahu soal penyakit itu.
Pembicaraan dari
soal penyakit telah berpindah ke soal perempuan. Lalu berpindah ke masalah anak
kecil yatim piatu. Irewa lalu menceritakan tentang anaknya yang masih remaja
dulu pernah melakukan hubungan seksual dengan pelacur. Irewa menceritakan hal
itu lebih lanjut lagi.
Jingi sudah tiba
di Belanda. Mama Karolin tinggal di Maastricht, sebuah kota kecil yang
berbatasan dengan negeri Jerman dan Belgia. Jingi mantap memperdalam ilmu
kedokteran karena dari dosennya di Manado dan bacaan sejarah.
Kalau Jingi kuliah
lagi alasanya bukan itu. Tapi ia memang sudah sejak kecil menyukai ilmu
kedokteran dan ia ingin terus menerus mempelajari ilmu ini.
Meage sudah
sekitar dua belas tahun di Jerman. Ia sudah mengerti lebih banyak lagi. Suster
Karolin, Dokter Leon, mama Lea mereka saling bersahabat. Mereka saling kabar
tentang Meage dan kini tentang Jingi. Suster Karolin tahu, Jingi membutuhkan
teman dari Indonesia yang ia kenal untuk menyesuaikan diri dengan hal-hal baru di
Belanda. Ia lalu menghubungkan Jingi dengan Meage.
Jingi kaget ia tak
menyangka Meage di jerman bersama dokter Leon dan mama Lea. Dulu waktu Jingi
menyampaikan salam Meage untuk mama Wawuntu karena Jingi pernah bertemu dengan
Meage sebelumnya. Mama Wawuntu lalu menceritakan tentang Meage yang diangkat
anak oleh bapa Leon dan mama Lea.
Setelah itu, ia tak punya informasi lain lagi.
Jingi sangat
gembira ketika pertama kalii bisa bicara melalui telepon dengan Meage. Ia dan
Meage pun saling bertanya dan bercerita. Jingi juga menceritakan tentang Irewa
saudara kembarnya itu. Dada Meage selalu saja berdesir setiap kali nama itu
disebutkan. Jingi terus bercerita. Tentang kegiatan terakir yang mereka lakukan
bersama-sama. Yakni memberi tahu hal-hal kesehatan para perempuan di
kampung-kampung.
Meage memasang
telingannya dengan sebaik-baiknya atas cerita tentang Irewa. Ia memang ingin
tahu banyak. Ia senang Jingi menjelaskan semua itu. Ada yang terasa sejuk di
dada Meage mengetahui Irewa baik-baik saja. Jingi merasa tidak sendirian lagi
di Negara asing itu.
Hari-hari awal
kuliah dilalui Jingi dengan cukup baik. Jingi sibuk. Kuliah cukup berat. Meski
begitu ia tetap berkomunikasi dengan Irewa lewat e-mail. Ada kebutuhan dalam
dirinya untuk terus mengikat komunikasi dengan Irewa. Ada yang terasa kurang
kalau tidak. Terakhir, Irewa cerita tentang ruang baru bernama ruang Marya di
Distrik Yar.
Ruang Marya adalah
ruang baru yang dibangun di kantor distrik. Ibu Selvi dan Irewa memberi nama
itu setelah lama tak menemukan nama yang dirasa cocok. Marya dalam bahasa
daerah berarti busur. Mereka berdua ingin agar ruang itu menjadi busur dan
panahnya adalah perempuan. Busur dan anak panah akan dipakai untuk membunuh
hal-hal buruk. Hal-hal bodoh. Ibu Selvi dan Irewa mengajak para perempuan
membunuh hal-hal yang tak baik.
Ruang Marya juga
dipakai untuk kegiatan lainnya. Tempat baru bagi para perempuan untuk berbicara
satu sama yang lain. Banyak perempuan dari kampung-kampung yang berbeda datang
ke situ.
Saat liburan akhir
tahun tiba, keluarga Dokter Leon mengundang suster Karolin ke Duria. Jingi
senang menikmati alam pedesaan. Saat berdua hanya dengan Meage. Jingi
menceritakan perkembangann Irewa. Tentang ruang Marya yang menjadi tempat Irewa
bisa bertemu dengan banyak perempuan lain.
Sebetulnya antara
Meage dan Irewa bisa saja melakukan hubungan langsung. Mereka berdua sama-sama
sudah lancar menggunakan sarana komunikasi yang ada. Baik e-mail atau pun
telepon. Tetapi mereka berdua tidak melakukan hal itu. Meage dan Irewa
sama-sama tidak punya keinginan untuk berhubungan langsung.
Berapa bulan
setelah Jingi tiba di Belanda tahun lalu, ada perubahan besar di Indonesia.
Soeharto menyatakan diri mundur sebagai presiden. Diganti presiden Habibie.
Kini, situasi jadi berbeda. Buku-buku yang dulu dianggap terlarang, sudah bisa
dibaca masyarakat. Penerbit tidak taku lagi mencetaknya. Beberapa orang yang
bergerak dibidang kesenian di Papua ingat akan Meage. Mereka mencari dan
akhirnya ada yang tahu dan bisa
menghubungi Meage. Kelompok ini menamakan diri kelompok Pecinta Seni Papua.
Mereka ingin menerbitkan catatan-catatan Meage.
Meage memang masih
menyimpannya dengan baik. Ia menganggap itu adalah harta miliknya yang sangat
berharga. Sebuah penerbit di Anjaya menerbitkannya. Setelah beberapa persiapan
lainnya, buku itu akhirnya bisa terbit. Sebuah buku yang sederhana saja.
Seperti biasa,
sore itu Irewa datang ke kantor distrik dan langsung menuju Ruang Marya. Di
mejanya ia melihat sebuah surat dan buku. Ada namanya tertera disitu. Ia heran.
Dibukanya dengan cepat. Lalu i abaca surat di dalamnya. Ia baca penjelasan
penerbit dari buku tersebut. Irewa jadi tahu itu pemberian langsung dari Meage
untuknya, Irewa mendekat buku itu ke dadanya. Buku itu seperti Meage baginya.
Irewa membaca buku
itu dengan baik. Kebetulan belum ada yang datang ke ruang itu. Hanya ia seorang
diri. Irewa membuka halamannya tapi pikirannya belum bisa memusat ke isi buku,
masih memikirkan Meage. Ia berusaha buang jauh-jauh pikiran itu.
Irewa juga menceritakan
pada Jingi lewat e-mail bahwa buku itu kan dipakai sebagai bahan kegiatan baru
di ruang Marya. Malam berikutnya, Irewa menerima balasan Jingi. Jingi ikut
senang. Ia mendukung sekali apa yang irewa rencanakan.
Di bagiaan lain,
Jingi mencritakan tentang teman-teman laki-lakinya di Maastrict, ada yang
bernama ini, itu. Kelakuannya begini, begitu. Perasaan Jingi begini begitu. Ada yang merupakan temannya di
universitas. Ada yang merupakan temann pergaulan dilingkaran lain. Irewa
membaca semuanya baik-baik. Sesampai di rumah, Irewa mulai memikirkan tentang
Jingi, saudara kembarnya itu. Anak-anaknya sudah besar bahkan ada juga yang
sudah memiliki anak juga. Tapi Jingi belum menikah. Irewa berpikir dan
berpikir. Lalu Irewa mempunyai sebuah pikiran. Ia membayangkan barangkali ada
baiknya kalau Jingi menikah dengan Meage. Pada waktu yang berbeda, setelah
menimbang dengan sangat matang, akhirnya Irewa memutuskan untuk menyampaikan
keinginannya pada Jingi.
Jingi yang baru
selesai jalan-jalan di luar kemudian
pulang dan membuka laptopnya. Membuka e-mailnya. Ia membaca permintaan Irewa
itu. Ia kaget. Jingi tak pernah punya pikiran seperti itu. Sama sekali. Selama
ini ia menganggap bahwa Meage adalah kakak. Saudara.
Suatu hari ada
sebuah karnaval besar yang diadakan di Belanda. Sebuah agenda rutin tahunan. Meage kurang
begitu suka dengan karnaval karena ia pernah melihat sebelumnya tetapi ini
adalah kali pertama bagi Jingi melihat acara itu. Jingi menghubungi Meage
melalui telepon. Ia mengundang Meage datang. Mama Lea juga mendorong Meage
untuk datang. Meage memenuhi ajakan itu.
Jingi dan Meage
bertemu. Meage bilang pada Jingi, “kalau kamu mau, kamu bisa berpakaian yang
aneh-aneh. Juga berdandang yang aneh-aneh, Jingi”, katanya memberi tahu karena
manusia bisa tampil seperti apa saja sesukanya saat karnaval. “Aku ingin
menonton saja, kakak” kata Jingi.
Mereka kemudian
naik sepeda berdua. Meage memakai sepeda yang biasa dipakai Mama Karolin.
Karnaval sudah mulai dan sangat ramai. Jingi dan Meage tampak menikmati. Di
Indonesia juga ada seperti ini. Biasanya diselenggarakan menjelang 17 Agustus.
Juga sama sangat meriah.
Boneka raksasa
penanda karnaval akan diturungkan dari tiang. Menandai acara selesai. Jingi dan
Meage datang ke pusat keramaian. Malam gelap. Music keras. Dunia anak-anak
muda. Ada yang bergoyang mengikuti irama music. Segelas bir ditangan. Jingi
juga ikut menggerak-gerakan badannya. Dadanya merasakan kegembiraan meluap.
Malam semakin malam. Udara semakin dingin. Anak-anak muda yang datang bersama pasangan yang
dicintainya memeluk pasangannya masing-masing. Mula-mula Jingi menggandeng
lengan Meage. Hangat. Jingi merasa lebih nyaman. Lama-lama ia sandarkan
kepalanya di pundak Meage. Badan Meage kokoh. Jingi kini menghadap ke Meage.
Kedua tangannya memeluk tubuh Meage dari depan. Kepalannya menyandar di dada
Meage. Jingi merangkulkan kedua tangannya
ke leher Meage. Ia menatap Meage. Tiba-tiba Jingi mencium bibir Meage. Setelah
ciuman itu Jingi kaget seperti baru tersadar. Meage diam saja. Mereka pun
pulang. Sesampai di rumah, mereka berdua hanya saling mengucapkan “selamat
istirahat”. Lalu menuju ke kamar masing-masing.
Setelah malam itu,
Jingi tak lagi menghubungi Meage. Ia menyibukkan dirinya dengan urusan
universitas dan kegiatan lainnya. Irewa masih mengabarkan padanya tentang
kegiatan di ruang Marya. Sesekali Irewa masih menyinggung tentang Meage. Ia
tetap mendorong Jingi untuk menikah dengan Meage, Irewa merasa kasihan, Meage
belum menikah. Ia rela, Meage menjadi suami Jingi. Irewa mengatakan pada Jingi,
ia menyayangi Jingi.
“Menikahlah kau
dengannya, Jingi,” kata Irewa dalam suratnya ke Jingi. Tulus. Jingi selalu tak
mampu membalas bagian yang berisi saran itu. Hatinya merasa pedih setiap kali
Irewa menanyakan hal itu. Ia merasa bersalah pada Irewa. Ia merasa telah
berkhianat kepada saudara kembarnya itu.
Meage sendirian di
rumah. Bapa Leon dan Mama Lea ada acara makan malam bersama sahabat mereka.
Meage duduk sendirian di sofa ruang keluarga. Dari tempat dudukya itu, ia bisa
bebas memandang alam luar dan merasakan ada yang tidak benar atas hidupnya
kini. Meage rasa, Duria bukan tempat yang cocok baginya. Tempatnya di Papua.
Otot dan betisnya juga dibutuhkan disana. Ia rindu pulang ke Papua.
Meage termangu.
Merasa tidak cocok berada di mana-mana. Badanya ada di Duria. Tapi pikirannya
jauh di Papua. Tak bisa lepas dari itu. Apakah karena Irewa? Atau mama dan
neneknya? Telinga Meage mendengar suara. Hanya sayup. Mama-mama Papua memanggil
namanya.
Datang dari
lembah-lembah terpencil Papua…
Dari kampung yang
jauh di pedalaman…
Hari di Duria
bergerak ke Gelap…
Meage menyalakan
lampu di ruangan.
Ia juga ingin
memberi terang matahari bagi jiwanya sendiri.
Matahari
dan bulan itu bagaikan dua bersaudara. Matahari adalah anak laki-laki dan bulan
adalah anak perempuan. Bulan datang pada malam hari. Ia mengerjakan tanah.
Matahari datang pada siang hari. Ia menanam bibit. Dan bintang? Bintang adalah
nama burung, mata kuskus, mata kodok, sedangkan yang cahaya cemerlang, itu mata
manusia.
Biografi
Pengarang:
Dorothea Rosa Herliany adalah seorang
penulis dan penyair perempuan Indonesia. Ia dilahirkan di Magelang, Jawa
Tengah, 20 Oktober 1963. Setelah Dasar Tarakanita Magelang, Dorothea
melanjutkan ke SMP Pendowo Magelang. Setelah itu Dorothea melanjutkan ke SMA
Stella Duce Yogyakarta. Lulus dari SMA Dorothea meneruskan ke IKIP Sanata
Dharma Yogyakarta. Ia pernah menjadi wartawan dan guru. Ia juga pernah
menghadiri pertemuan sastrawan muda Asean di Filipina (1990) dan menjadi
peserta dalam festival Puisi Indonesia di Jakarta dan Rotterdam, Negeri Belanda
(1985).
Karya sastra yang sudah diterbitkan,
antara lain Nyanyian Gaduh (kumpulan sajak, 1987), Matahari yang Mengalir
(kumpulan sajak,1990), Kepompong Sunyi (kumpulan sajak, 1993), Pagelaran
(kumpulan cerpen,1993), Guru Tarno (kumpulan cerpen 1994), Cerita dari Hutan
Bakau (kumpulan sajak, 1994), Vibrasi Tiga Penyair (ap,1994), Blencong
(kumpulan cerpen, 1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (kumpulan cerpen, 1995),
Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999). Dorothea juga adalah orang pertama yang
memenangi kedua kategori Kusala Sastra Khatulistiwa, prosa dan puisi, dengan
“Santa Rosa” (puisi) pada 2006 dan “Isinga” (prosa) pada 2015.
Komentar
Posting Komentar