NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL ISINGA

KARYA DOROTHEA ROSA HERLIANY

(KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA)

 

 

SKRIPSI

 

 

 

Oleh

ESNA EVELIN RALAHALU

NIM: 2015-35-119

 

 

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2022

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra adalah karya yang berhubungan dengan ekspresi dan pencintaan.Karya sastra seperti karya seni lainnya mengandung unsur keindahan yang dapat menimbulkan rasa senang, nikmat, haru, dan melegakan perasaan pembacanya.Sastra merupakan tuangan pengalaman batin manusia yang digali dari kehidupan luas dan berisi konflik batin manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan. Lapoliwa  (dalam  Jasman, 1993 : 1)mengatakan: bahwa sastra sebagai salah satu jalan untuk mengenal, mengasihi dan memesrai kehidupan. Hal itu menandakan bahwa seorang pencipta karya sastra tidakhanya sekedar mengekspresikan jiwanya saja, melainkan secara tersirat dia mendorong, mempengaruhi pembaca agar menghayati dan menyadari masalah serta ide yang dicurahkan dalam karyanya.Umumya dalam sebuah karya sastra dibicarakan tentang manusia dengan beranekaragam kegiatannya. Karya sastra merupakan sarana penting untuk mengenal manusia dan zamannya.Melalui karya sastra baik berbentuk puisi, cerpen, ataupun novel dapat dibayangkan kemajuan kebudayaan, tradisi yang berlaku, keadaan ekonomi, dan sebagainya.Karya sastra merupakan wadah untuk mengenal manusia dan zamannya, jika dilihat dari segi bentuk dan teknisnya memiliki dunia masing masing.

Novel pun mempunyai dunia, mekanisme, dan realitasnya sendiri. Apabila dibaca maka muncul berbagai perasaan dalam diri. Kadangkala terasa seperti ada jurang antara kenyataandalam novel dengan diri kita sendiri.Sebaliknya tidak dapat dipungkiri diri kita yang seakan begitu menyatu sekali dengan novel yang dibaca.Keadaan seperti itu mungkin sengaja ditampilkan oleh pengarang sesuai dengan perkembangannya. Novel sebagai salah satu wujud ragam sastra Indonesia merupakan karya imajiner, serta hasil perenungan  dan reaksi pengarang terhadap manusia dan kehidupan. Fenomena pandangan manusia jadi menarik bagi pengarang.Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut, kemudian diungkapkankembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif ke dalam karya sastra. Fenomena kehidupan yang digambarkan pengarang diantaranya mengungkapkan hakikat pandangan manusia terhadap eksistensinya. Dapat pula dibayangkan berbagai pandangan yang telah terungkap menyangkut eksistensi manusia Indonesia.Sebuah novel akan dinyatakan bermutu jika senantiasa mengandung nilai positif bagi pembacanya. Disamping itu juga pembaca mampu menangkap nilai-nilai positif yang disampaikan oleh pengarang. Salah satu nilai positif yang kerap tertuang didalam novel adalah nilai pendidikan, yang mencakup didalamnya nilai pendidikan relegius, nilai pendidikan moral,nilai pendidikan sosial, dan nilai pendidikan budaya.Melalui nilai-nilai inilah, pesan ingin disampaikan dan dibentuk menjadi sebuah ide sehingga menjadi sesuatu yang menarik dan bermanfaat.

Pendidikan merupakan pilar penting dalam suatu bangsa, bahkan menjadi peran yang paling utamadalam kemajuan kehidupan manusia.Keadaan suatu bangsa tentunya sangat dipengaruhi bagaimana kondisi manusia yang berada dalam bangsa tersebut.Maju atau tidaknya suatu bangsa dipengaruhi oleh kondisi orang-orangnya, karena pada dasarnya yang berperan dalam menjalankan suatubangsa adalah orang-orang yang menempati bangsa itu sendiri. Hal ini sangatlah tergantung dari pendidikan yang diperoleh orang-orang itu sendiri.Pendidikanberfungsi mengembangkan kemampuan dan watak serta peradaban bangsa.Dengan pendidikan, manusia diantarkan menjadi sosok yang pandai, bijaksana dan kritis.Namun pada dasarnya pendidikan tidak harus serta merta diawali oleh lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah suatu proses belajar, yaitu belajar dari yang tidak tahu menjadi tahu. Pendidikan dengan segala perangkat pembelajarannya merupakan sarana yang efektif untuk proses pembentukan ideology manusia. Tujuan pendidikan memuat tentang gambaran nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Tujuan inilah yang akan menjadi tolak ukur dari pencapaian untuk menghasilkan generasi yang sesuai dengan harapan bangsa. Dalam dunia kesusasteraan, novel dijadikan sebagai salah satu media pengungkapan kehidupan manusia dalam mewujudkan nilai-nilai pendidikan.Melalui karya sastra, pengarang lebih leluasa menyampaikan ide, gagasan pandangan hidup, dan nilai-nilai yang bermanfaat bagi penikmat sastra.

Novel Isinga Roman papua merupakan salah satu sarana yang strategis untuk menyampaikan pesan-pesan, khususnya nilai-nilai pendidikan.Novel Isinga terbit pada tahun 2015, menyajikan tema sosial budaya yang megandung nilai-nilai pendidikan yang begitu nyata, karyanya berbicara tentang kehidupan seorang perempuan yang mengalami ketidakadilan yang diakibatkan oleh sistem patriarki.Isinga sendiri adalah ibu atau perempuan di Papua. Bagaimana perempuan di sana menghadapi perlakuan tidak adil dari kaum laki-laki dan bagaimana mereka tegar perkasa menghadapinya. Tidak heran jika dalam karyanya Dorothea Rosa Herliany begitu menghayati, cermat dan detail saat menggambarkan tokoh dan nilai-nilai pendidikan di dalam ceritanya. Ketertarikan peneliti memilih novel Isinga sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut: pertama, novel Isinga  sangat menarik, karena mengangkat kisah hidup perempuan Papua. Banyak persoalan yang terungkap secara bertahap melalui teknik penceritaan yang menawansehingga antara persoalan-persoalan satu dengan persoalan yang lain saling berhubungan. Kedua: novel Isinga dapat dijadikan cermin untuk melihat manusia dalam usahanya memahami kehidupan dengan segala isinya (lingkungan fisik, lingkungan perkampungan, cara hidup, adat istiadat). Novel Isinga diangkat dari kenyataan sosial, menggambarkan kondisi, perilaku, dan sikap hidup masyarakat Aitubu dan Hobone dari kelompok etnis tertentu dan memiliki kebudayaan tertentu pula.Penelitian ini hanya mengungkapkan penggambaran nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel.Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti menentukan judul Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany.

 

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan dalam Novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany (Kajian Sosiologi Sastra)” ?

1.3  Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam Novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany (Kajian Sosiologi Sastra) .

1.4 Manfaat Penelitian

Secara teoretis hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang nilai-nilai pendidikan dalam Novel Isinga.

Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai pengetahuan dan pemikiran wawasan bagi pembaca atau peminat sastra mengenai penelitian nilai-nilai pendidikan dalam karya sastra Indonesia serta untuk menggugah dan mendorong peneliti lain dalam meneliti karya sastra pada umumnya dan mengenai nilai-nilai pendidikan  khususnya.

 

 

 

                                                            BAB II

KAJIAN PUSTAKA

 

2.1 Pengertian Novel

Istilah novel dalam bahasa Indonesia berasal dari istilah novel dalam bahasa Inggris. Sebelumnya istilah novel dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Itali, yaitu novella. Novella diartikan sebuah barang baru yang kecil, kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Abrams, dalam Purba 2010: 62)H. B. Jassin (Purba 2010: 63) mengatakan bahwa novel merupakan rangkaian cerita yang membahas tentang kehidupan seseorangdimana berhubungan dengan pengalaman manusia secara imajinatif. Dalam kesustraan Indonesia, diketahui istilah roman dan novel.Roman diartikan sebagai karya yang menggambarkan kehidupan manusia secara luas dari kecil hingga dewasa dan meninggal. Sedangkan novel diartikan sebagai karya yang mengungkapkan kehidupan manusia pada suatu saat tertentu secara mendalam.Istilah yang umum dipakai di Indonesia untuk karya sastra berupa prosa yang panjang adalah istilah novel, sedangkan roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua.Dari beberapa pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, novel merupakan cerita berbentuk prosa yang mengandung rangkaian cerita kehidupan manusia dalam jangka yang lebih panjang dimana terjadi konflik-konflik yang akhirnya mengakibatkan terjadinya perubahan jalan hidup antara pelakunya dan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya.

 

 

 

2.2 Jenis-Jenis Novel

Novel yang berkembang di Indonesia terdiri dari beberapa jenis, yakni novel berdasarkan isi cerita dan novel berdasarkan genre. Novel yang berdasarkan isi cerita dapat dibagi menjadi dua, yakni novel fiksi dan non fiksi.Novel non fiksi merupakan isi cerita novel berdasarkan cerita nyata, sedangkan novel fiksi merupakan isi cerita novel hanya berdasarkan khayalan penulis dan tidak berdasarkan cerita nyata, baik dari alur. Jenis Novel berdasarkan novel  genre dapat dibagi menjadi lima yaitu:

(1) Novel romantic. Novel romantic bercerita tentang novel yang berkisahkan tentang percintaan dan kasih sayang. Biasanya disertai dengan intrik-intrik yang menimbulkan konflik.

(2) Novel horror. Novel horror memiliki cerita yang menegangkan, seram, dan membuat pembacanya berdebar-debar yang berhubungan dengan makhluk-makhluk gaib dan berbau supranatural.

(3) Novel misteri. jenis novel ini lebih rumit dan dipenuhi teka-teki yang harus dipecahkan. Biasanya disukai pembaca karena membuat rasa penasaran dari awal sampai akhir.

(4) Novel komedi. dilihat dari namanya novel ini memiliki unsur-unsur lucu dan humor, sehingga bisa membuat pembacanya terhibur dan sampai tertawa terbahak-bahak dan,

(5) Novel inspiratif. Jenis novel yang dapat menginspirasi banyak orang. Banyak mengandung nilai-nilai moral dan hikmah yang dapat diambil dalam novel ini.

 

 

 

B. Nilai Pendidikan

1 Batasan Nilai Pendidikan

Kata nilai atau value berasal dari bahasa latin valere atau bahasa Prancis kuno valoir yang berarti berharga. Namun, ketika kata tersebut dihubungkan dengan obyek atau dipersepsi dalam sudut pandang tertentu maka akan mempunyai tafsiran yang beragam nilai atau harga menurut ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, politik ataupun agama. Nilai adalah realitas abstrak dalam diri manusia menjadi daya pendorong terhadap sikap dan tingkah laku sehari-hari. Nilai adalah sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yangkita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan singkatnya sesuatu yang baik.

Nilai dalam arti sifat yang berharga adalah sifat dari suatu hal, benda, atau pribadi yang memenuhi kebutuhan elementer manusia yang memang serba butuh atau menyempurnakan manusia, yang memang tak kunjung selesai dalam pengembangan dirinya secara utuh, menyeluruh dan tuntas. Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat. Nilai ini nantinya akan menjadi tujuan agar masyarakat menjadi manusia yang lebih baik.

Defenisi  tentang nilai yang abstrak, bukan hanya sebagai harga suatu benda. Karena itu, memilih defenisi bukan untuk menyalahkan defenisi lain tetapi tergantung dari sudut mana seseorang mendefinisikan nilai. Namun, untuk kebutuhan pengertian nilai yang sederhana, mencakup keseluruhan aspek yang terkandung dalam definisi di atas maka dapat ditarik suatu defenisi baru yakni nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan dan sifat yang menjadi acuan bagi manusia baik didapat secara subjektif ataupun objektif dan nilai bisa mempengaruhi tingkah laku manusia. Pendidikan secara praktis tidak terpisahkan dengan nilai-nilai, terutama proses membina nilai-nilai yang bersifat fundamental,seperti nilai sosial, nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama. Menurut Kohlberg dalam Nina syam (2011:94) temukan penelitian Hartshorne dan May dapat diinterpretasikan bahwa pendidikan moral di sekolah tidak efektif. Ketidakefektifan itu di sebabkan oleh karakter moral telah di bentuk lebih awal di rumah karena pengaruh orang tua. Karakter moral juga dianggap sebagai sesuatu yang tidak tetap dan merupakan emosi mendalam yang keberadaannya tidak konsisten. Seseorang berperilaku moral lebih disebabkan oleh factor-faktor situasional dan bukan merupakan hasil pemikiran yang didasarkan atas perkembangan moral. Sedangkan menurut Fankena dalam Nina Syam (2011:96) perilaku moral bukan merupakan refleksi dari pengalaman pendidikan yang berpusat pada nilai-nilai moral yang diajarkan. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa pendidikan moral selama dekade tersebut dinyatakan kurang berhasil, bahkan dianggap gagal, yaitu karena kurang mengikutsertakan factor kognitif. Suatu perilaku moral dianggap bernilai moral jika perilaku itu dilakukan secara sadar atas kemauan sendiri dan bersumber dari pemikiran moral yang bersifat otonom. (Fankena dalam Nina Syam, 2011:98)  dengan demikian dapat disimpulkan, perilaku moral dapat dikatakan bermoral jika perilaku tersebut dilakukan secara sadar atas kemauan sendiri sebagai hasil berfikir yang merupakan refleksi dan pengalaman belajar seseorang.

 Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang, usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, serta cara pembuatan mendidik. Jadi, untuk membentuk seseorang atau sekelompok orang yang memiliki karakter yang baik maka harus ada usaha mencapai hal tersebut melalui suatu proses yaitu, pendidikan.

 

2 Aspek-Aspek Nilai Pendidikan

Pendidikan sebagai gejala universal, merupakan suatu keharusan bagi manusia, karena selain pendidikan sebagai gejala, juga sebagai upaya memanusiakan manusia. Menurut  Fuad Ihsan (2008:1) pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma  tersebut serta mewariskannya kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan kehidupan yang terjadi dalam proses pendidikan. Sedangkan di dalam GBHN tahun 1973 yang dikutip oleh (Fuad Ihsan, 2003:5) pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Tujuan utama dalam pendidikan adalah mencapai perkembangan individu secara menyeluruh. Perkembangan individu secara menyeluruh berarti individu tersebut dapat berkembang pada aspek fisik, mental, social, emosional, dan spritualnya secara baik. Tiap-tiap Negara memiliki peraturan perundang-undangan sendiri. Semua tindakan yang dilakukan di Negara itu didasarkan pada perundang-undangan tersebut. Bila ada sesuatu tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan itu, maka dikatakan tindakan itu melanggar hukum, dan orang bersangkutan akan di adili. Oleh sebab itu, tindakan dikatakan benar bila sejalan atau sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara bersangkutan. Negara Republik Indonesia mempunyai berbagai peraturan perundang-undangan yang bertingkat, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, peraturan pemerintah, ketetapan, sampai dengan surat keputusan. Semuanya mengandung hukum yang patut ditaati, dimana Undang-Undag Dasar 1945 merupakan hukum yang tertinggi. Sementara itu peraturan perundang-undangan yang lain harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar 1945. Diantara peraturan perundang-undangan RI, yang paling banyak membicarakan pendidikan adalah Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003.Sebab undang-undang ini disebut sebagai induk peraturan perundang-undangan pendidikan. Undang-undang ini mengatur  pendidikan pada umumnya, artinya segala sesuatu berkaitan dengan pendidikan, mulai dari prasekolah, sampai dengan pendidikan tertinggi ditentukan dalam undang-undang ini.

Tujuan pendidikan menurut UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, bab II pasal 3 bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, moral, berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh kegiatan pendidikan, adalah suatu yang logis bahwa pendidikan itu harus dimulai dengan tujuan yang diasumsikan sebagai nilai. Beranjak dari tujuan pendidikan nasional tersebut, kemudian dalam penelitian ini dijabarkan lagi menjadi beberapa aspek-aspek nilai pendidikan secara berurutan, yaitu:

(1). Beriman dan Bertakwa Kepada Tuhan yang Maha Esa

Manusia pada dasarnya hidup di dalam suatu alam yang sacral, penuh dengan nilai-nilaidan dapat menikmati sakralitas yang ada serta tampakdalam alam semesta. Hubungan manusia dengan penciptanya terwujud dalam nilai keimanan.Orang yang memiliki keimanan disebut beriman.Beriman artinya mempunyai iman (ketetapan hati), mempunyai keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”.Ketakwaan tidak dapat dipisahkan dari keimanan.Keimanan mendasari ketakwaan seseorang, orang yang memiliki ketakwaan disebut bertakwa.Bertakwa memiliki pengertian terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan perintah-Nya. Orang yang bertakwa akan merasa selalu diawasi gerak-geriknya oleh Tuhan sehingga dalam kehidupannya selaluberusaha untuk melaksanakan tindakan yang mengarah kepada perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Jika setiap orang dalam kehidupan ini memiliki ketakwaan dan keimanan yang tinggi, mengamalkan agamanya dengan baik dan benar maka akan tercapai tujuan hidup manusia, yakni bahagia lahir dan batin. Sebagai manusia yang beriman dan bertakwa maka harus memiliki sikap, sebagai berikut: (1) menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, dan keadilan, (2) melaksanakan perintah Tuhan, (3) menjauhi larangan-Nya (Siagian, 2007).

 

(2). Berakhlak Mulia

“Pendidikan adalah sebuah proses transfer of value. Value yang dimaksud adalah nilai-nilai moral, seperti etika, budi pekerti yang luhur, kejujuran dan sebagainya.”(Rinaldimunir, 2006).Semua nilai-nilai moral ini sering dinamakan akhlak. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan karakter yang berakhlak mulia, yaitu membentuk manusia untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam setiap langkah kehidupannya. “Akhlak adalah budi pekerti; kelakuan.” Hal ini menandakan bahwa akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.Nilai-nilai yang dijunjung tinggi adalah kasih sayang, kebenaran, kebaikan, kejujuran, amanah, dan tidak menyakiti orang lain.

 

(3). Moral.

            Moral menurut Salam (2000:12) adalah ilmu yang mencari keselarasan perbuatan-perbuatan manusia (tindakan insani) dengan dasar-dasar yang sedalam-dalamnya yang diperoleh dengan akal budi manusia. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa moral merupakan ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan  mengenai akhlak, budi pekerti, kewajiban, dan sebagainya (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2009: 327)

            Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan, dan kelakuan (akhlak). Demolarisasi berarti kerusakan moral. Moral juga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

a.       Moral murni, yaitu moral yang terdapat pada setiap manusia, sebagai suatu pengejawantahan dari pancaran ilahi. Moral murni disebut juga hati nurani.

b.      Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran berbagai ajaran, agama, adat yang menguasai pemutaran manusia (Agus, 2011)

Kata moral selalu mengacu kapada baik buruk manusia. Sikap moral disebut juga moralitas yaitu sikap hati seseorang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih dan hanya moralitaslah yang dapat bernilai secara moral. Nilai moral dapat diperoleh di dalam nilai moralitas. Moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan hukum atau norma batiniah, yakni dipandang sebagai kewajiban.

 

(4). Berilmu

Psillos dan Curd (2008) Menurut pendapat Psillos dan Curd, ilmu adalah pemikiran yang berkaitan dengan perkara-perkara filosofis dan mendasar dari sebuah wawasan. Ilmu merupakan hal yang sangat penting dalam hidup untuk memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan. Adapun ciri-ciri orang berilmu (Gym, 2007), yaitu: (1). orang yang berilmu mampu mengambil hikmah dari suatu peristiwa, (2). memperoleh kedamaian dalam hidupnya karena mampu menyikapi setiap masalah secara bijaksana, (3). mampu menggunakannya untuk kebaikan, dan (4). orang yang berilmu, berhasil dan sukses dalam hidupnya.

 

(5). Cakap

Moeliono (2008:236) menyatakan bahwa cakap berarti sanggup melakukan sesuatu, serta  Orang disebut cakap jika orang itu pandai menggunakan daya akal dan pikirannya dengan baik sehingga pekerjaan yang dilakukan dapat berlangsung dengan cepat dan lancer. Sedangkan Menurut Anwar (2004:54), kecakapan hidup adalah kemampuan yang diperlukan untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan orang lain, dan masyarakat atau lingkungan dimana ia berada antara lain keterampilan mengambil keputusan, pemecahan masalah, berfikir kritis, berfikir kreatif, berkomunikasi yang efektif, membina hubungan antar pribadi, kesadaran diri, berempati, mengatasi emosi, dan mengatasi stres. 

 Menurut Mawardi (2012:287), life skill atau kecakapan hidup sebagai kontinum pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang untuk berfungsi secara independen dalam kehidupan. 

Orientasi pendidikan dalamupaya pembentukan pribadi yang cakap secara khusus memiliki tujuan sebagai berikut:

(1) Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problem yang diadapi.

(2) Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkanpembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan dengan prinsip pendidikanberbasis luas.

(3) Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dilingkungan sekolah denganmemberi peluang pemanfaatan sumber daya yang ada dimasyarakat (Uswatun 2011).

 

(6). Kreatif

Kreatif adalah memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk menciptakan, bersifat (mengandung) daya cipta. (Moeliono, 2008:739). Orang yang kreatif merupakan orang yang terus menerus membuat perubahan dan perbaikan secara bertahap pada pekerjaan meraka. Salah satu ciri orang yang kreatif adalah ia mampu memunculkan beragam alternatif dari permasalahan yang dihadapinya. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli psikologi terhadap orang-orang yang berpikir kreatif telah menghasilkan beberapa kriteria atau cirri-ciri orang yang kreatif.

Dalam (Duwi Santoso 2013), Penelitian terhadap para penulis dan arsitek yang kreatif melalui identifikasi oleh anggota profesi mereka menghasilkan, bahwa orang yang mempunyai kreatifitas yang tinggi itu cenderung memiliki ciri-ciri: fleksibel, tidak konvensional, eksentrik (aneh), bersemangat, bebas, berpusat pada diri sendiri, bekerja keras, berdedikasi dan inteligen.   Menurut Utami Munandar (2009: 12), bahwa kreativitas adalah hasil interaksi antara individu dan lingkungannya, kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang sudah ada atau dikenal sebelumnya, yaitu semua pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh seseorang selama hidupnya baik itu di lingkungan sekolah, keluarga, maupun dari lingkungan masyarakat.Kreatif dimulai dengan rasa ingin tahu dan keterbukaan terhadap hal-hal baru dan didasari dengan sikap yang bersemangat dan keberanian untuk mengambil resiko (Duwi Santoso 2013).

 

(7). Mandiri

“Mandiri adalah keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain” (Moeliono, 2008: 873), sedangkan Menurut Monks, dkk (dalam Astuti, 2013) mengatakan bahwa  orang yang mandiri akan memperlihatkan perilaku yang eksploratif, mampu mengambil keputusan, percaya diri dan kreatif. Selain itu juga mampu bertindak kritis, tidak takut berbuat sesuatu, mempunyai kepuasan dalam melakukan aktifitasnya, mampu menerima realita serta dapat memanipulasi lingkungan, berinteraksi dengan teman sebaya, terarah pada tujuan dan mampu mengendalikan diri.


 

(8). Demokratis

Moeliono (2008: 310) menyatakan bahwa demokratis adalah bersifat demokrasi, berciri demokrasi, yaitu gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga Negara. Dalam demokratis antara satu orang dengan yang lainnya relative memiliki perlakuan yang sama antara pemimpin dan dipimpin yang saling mendukung untuk menciptakan kehidupan bersama. Adapun ciri orang yang memiliki jiwa demokratis menurut Sukonto (2005:18), yaitu: (1) memiliki rasa hormat terhadap sesama dalam hidup manusia yang majemuk dan menjaga keharmonisan hubungan antara sesama manusia, (2) bersikap kritis terhadap kenyataan sosial, budaya, politik serta kritis terhadap pelaksanaan pemerintahan Negara, (3) bersikap terbuka menghargai terhadap hal-hal baru, (4) memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara bebas dan rasional.

 

(9). Bertanggung Jawab

Pada hakikatnya adalah makhluk yang bertanggung jawab.Disebut demikian karena manusia selain makhluk individual dan makhluk sosial juga makhluk Tuhan. Manusia mempunyai tuntutan yang besar untuk bertanggung-jawab mengingat ia mementaskan jumlah peranan dalam konteks sosial, individual ataupun teologis. Moeliono (2008:1398) menyatakan bahwa bertanggung-jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb). Sedangkan Menurut Mustari (2014: 19)
Menurut Mustari, definisi tanggung jawab ialah sikap dan perilaku seseorang dalam menjalankan tugas serta kewajibannya sebagaimana yang seharusnya diterapkan terhadap diri sendiri,, masyarakat, lingkungan dan negara serta Tuhan.

Tanggung jawab berarti juga berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.”Masalah tanggung jawab dalam konteks individual berkaitan dengan konteks teologis.Manusia sebagai makhluk individual artinya harus bertanggung jawab terhadap dirinya. Tanggung jawab manusia terhadap dirinya akan lebih kuat intensitasnya apabila ia memiliki kesadaran yang mendalam. Tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya timbul karena manusia sadar akankeyakinannya terhadap nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama. Tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia adalah keberanian. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang berani menanggung resiko atas apa yang menjadi tanggung jawabnya.

C.    Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau mengenai sastra karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yag dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya (KBBI, 2005 :1085). Damono (1978:6) memberikan definisi sosiologi sastra sebagai telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat. Sosiologi sastra berhubungan dengan masyarakat dalam menciptakan karya sastra tentunya tak lepas dari pengaruh budaya tempat karya sastra dilahirkan. Menurut Wellek dan Warren dalam Damono (1978:3) hubungan sastra yang erat kaitannya dengan masyarakat. Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Sastra mencerminkan dan mengekspresikan kehidupan pengarang, sastra tak bisa tidak mengekspresikan pengalaman dan pandangan tentang hidup. Tetapi tidak benar bila dikatakan bahwa pengarang secara kongkret dan menyeluruh mengekspresikan perasaannya. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, yang semua itu merupakan struktur sosial merupakan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan tentang mekanisme sosialisasi proses pembudayaan yang menempatkan anggota yang ditempatnya masing-masing. Untuk memhamai karya secara lengkap, Grebstein ( Damono 1978:4) menyakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau perdaban yang telah menghasilkannya. Grebsein dalam (Damono 1978:4).

Sebagai mana sosiologi sastra berusaha dengan manusia dalam masyarakat dalam usaha manusia menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Maka karya sastra perlu dipelajari dalam konteks  yang seluas luasnya. Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit atau kompleks dan bagaimana pun, karya sastra bukan suatu gejala yang tersendiri. Menurut Damono (1978:8) perbedaan yang ada antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedagkan karya sastra menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dan perasaanya. Sosiologi bersifat kognitif, sedangkan sastra bersifan afektif. Masalah pokok sosiolgi sastra adalah karya sastra itu sendiri, sebagai aktifitas kreatif dengan ciri yang berbeda-beda (Ratna, 2003:8). Sebuah miniatur, karya sastra berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreatifitas dan imaji. Karya sastra memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu sebagai motivator ke arah aksi sosial yang lebih bermakna, sebagai pencari nilai-nilai kebenaran yang dapat mengangkat dan memperbaiki situasi dan kondisi alam semesta (Ratna,2003:35-36).

Sosiologi sastra merupakan kajian ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, mengenai lembaga, dan proses social. Sosiologi mengkaji stuktural social termasuk didalamnya perubahan-perubahan social yang mempelajari lembaga social, agama, ekonomi, politik, dan sebagainya bersamaan dan membentuk struktur social guna memperoleh gambaran tentang bagaimana caranya agar manusia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, pandangan kemasyarakatan dan kebudayaan. Sebagaimana  sosiologi sastra berhubungan dengan manusia, karena keberadaannya dapat dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat itu sendiri. Sastra sebagai lembaga social yang menggunakan Bahasa sebagai mediumnya karena Bahasa merupakan wujud dari ungkapan social yang menampilkan gambaran kehidupan.

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sosio (Yunani) (socius anggota) dan logi (logos berarti sabda, perumpamaan). Kemudian dalam perkembangannya mengalami perubahan makna, sosio/socious berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu mengenai usul dan pertumbuhan masyarakat, ilmu pengetahuan. Sastra berasal dari kata sas (sansekerta) berarti menujukan cara mengajar, memberikan petunjuk akhiran tra berarti sebagai alat, sarana. Jadi sastra adalah kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau pengajaran yang baik.

Secara pasti sosiologi sastra adalah analisis, karena berbicara tentang karya sastra dengan mempertimbangkan dari segi kemasyarakatannya. Sifatnya sangat luas karena memberikan kemungkinan untuk menganalisis karya sekaligus dalam kaitannya dengan  unsur-unsur intrinsic dan ekstrinsik, aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung dalam karya demikian juga sebagai aspek-aspek kemasyarakatan sebagai latar belakang social proses yang kreatif.  (Ratna,2011:24) Ratna (2003:25) mengatakan , sosiologi sastra adalah penelitian yang meneliti karya sastra dan keterlibatan terhadap unsur-unsur sosialnya dengan demikian penelitian sosiologi sastra dilakukan dengan cara memberikan pemaknaan yang berkaitan dengan latar belakang suatu masyarakat serta perubahan yang terjadi di dalamnya.

Pada dasarnya karya sastra menceritakan tentang persoalan-persoalan yang menyangkut manusia. Dengan demikian secara langsung atau tidak langsung pengarang telah mengungkapkan  persoalan social di dalam karyanya tersebut. Hal itu dipengaruhi oleh apa yang dirasakan, dilihat dan dialami dalam kehidupan sehari-hari. Kehadiran sastra mempunyai peranan penting dalam membentuk struktur masyarakatnya. Pengarang dan karyanya merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dalam membicarakan sebuah karya sastra. Menurut Ratna (2010:277) bahwa pengarang merupakan masyarakat pertama yang berada di dalam karya sastra, keberadaannya tetap tidak berubah karena keberadaannya adalah proses sejarah. Kemudian Masyarakat yang kedua dihuni oleh tokoh-tokoh rekaan, sebagai manifestasi subjek pengarang.

 

D.    Sosiologi Sebagai Pendekatan Sastra

Pendekatan sosiologi sastra yaitu pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Sosiologi sastra sebagai pendekatan pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosio sastra atau pendekatan sosikultural terhadap sastra. Pada pokoknya kedua pendekatan tersebut menunjukan satu kesamaan yaitu memberi perhatian terhadap sastra sebagai lembaga social yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat (Damono dalam Wahyuningtyas dan Wijaya, 2011:26). Sejalan dengan pengertian Damono mengenai pendekatan sosiologi sastra, Ratna (2011:61) mengungkapkan pendekatan sosiologis juga memiliki implikasi metodologis berupa pemahaman mendasar mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat.

Pendekatan sosiologis dapat digunakan untuk membantu memahami gender, feminis, status peranan, wacana social, dan sebagainya. Melalui pendekatan sosiologi sastra juga dapat dicari aspek-aspek social dari karya sastra tersebut. Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan yang mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat. Sosiologi sastra juga memberikan perhatian terhadap sastra sebagai lembaga social yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Selain digunakan untuk menganalisis kehidupan manusia dalam masyarakat, pendekatan sosiologi juga dapat digunakan untuk memahami gender, feminis,status peranan, wacana social, dan sebagainya.

Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya.

Santosa dan Wahyuningtyas (2011,hlm. 24) menyatakan, karya sastra itu unik karena merupakan perpaduan antara imajinasi pengarang dengan kehidupan social yang kompleks. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa karya sastra dapat dianggap sebagai cermin kehidupan social masyarakatnya karena masalah yang dilukiskan daam karya sastra merupakan masalah-masalah yang ada di lingkungan kehidupan pengarangnya sebagai anggota masyarakat.

 

 

E.      Klasifikasi Sosiologi Sastra 

a.       Konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa memengaruhi pengarang sebagai perorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

METODE PENELITIAN

 

3.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang kualitatif yakni penelitian dengan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya membangun pandangan mereka yang diteliti rinci, dibentuk dengan kata-kata, pandangan holistik yang rumit (Moleong 2010:4).

Metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Berdasarkan uraian di atas metode penelitian yang tepat untuk novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Dengan alasan pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis.

 

3.2 Data dan Sumber Data

3.2.1. Data

Data penelitian ini  adalah data yang berupa teks novel, ungkapan dan kalimat yang menunjukan pada nilai-nilai pendidikan dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany.

 

 

3.2.2 Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany.PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2015.

 

3.3 Teknik Pengumpulan Data

 

Untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik kepustakaan, teknik baca, dan teknik catat.Teknik kepustakaan merupakan teknik yang menggunakan sumber-sumber tertulis berupa buku yang berkaitan dengan feminisme untuk memperoleh data.

Teknik catat yaitu, penulis membaca dan mencatat secara saksama, teliti dan cermat terhadap sumber data yaitu, karya sastra novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany untuk memperoleh data yang diinginkan lalu dicatat. Pada saat membaca penulis mencatat bagian-bagian yang berupa kata, kalimat yang ditemukan dalam Isinga karya Dorothea Rosa Herliany yang menjelaskan nilai-nilai pendidikan dalam novel tersebut, dan kemudian diberi pengkodean.

 

 

3.4 Teknik Analisis Data

 

Analisis data bertujuan untuk menyusun data dalam cara yang bermakna sehingga dapat dipahami. Dalam penelitian ini digunakan analisis data menggunakan analisis deskriptif. Adapun prosedur analisis adalah sebagai berikut: (1) membaca novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany secara baik; (2) mengidentifikasi dan mengklasifikasi data sesuai fokus penelitian (3) menginterpretasi dan menampilkan data nilai pendidikan dan (4) menarik kesimpulan.

 

 

3.5 Pengecekan Keabsahan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi teori.Langkah yang peneliti lakukan dengan triangulasi teori, yaitu membandingkan data yang dikumpulkan dengan beberapa teori yang relevan sehingga menemukan data yangakurat, seperti membandingkan teori yang peneliti pakai dengan data yang dikumpulkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                  BAB IV

PEMBAHASAN

 

 

A.    Hasil Penelitian

a.      Nilai-nilai Pendidikan Dalam Novel Isinga Karya Dorothea Rosa Herliany

1.      Moral

Moral menurut Salam (2000:12) adalah ilmu yang mencari keselarasan perbuatan-perbuatan manusia (tindakan insani) dengan dasar-dasar yang sedalam-dalamnya yang diperoleh dengan akal budi manusia. Moral merupakan pengetahuan menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan, dan kelakuan (akhlak).

Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:

“Kedua manusia itu ditendang. Tenaga laki-laki. Perasaan marah. Tendangan. Malom terasa sangat sakit. Malom lalu memukuli kepala Lepi. Lepi tak bisa melakukan serangan balasan. Malom memukulnya sekali lagi dengan tenaga yang lebih kuat. Irewa sudah berdiri. Malom menempeleng kepala Irewa. Irewa juga dengan mudah. Malom menendang tubuh Irewa yang sudah terjatuh ke tanah. Perut Irewa diinjak dengan kedua kaki. Lalu Lepi dipukul sekali lagi. Ditendang sekali lagi. Puas. Malom lalu pergi meninggalkan keduannya. Lepi dan Irewa sama sakit tak terkira. Hidung berdarah. Lecet-lecet. Rasa nyeri. Tulang-tulang terasa ada yang patah. Irewa merasa seperti akan pingsan.”(I:79)

 

Malom juga merupakan laki-laki yang sangat kasar dan memiliki moral yang sangat buruk atau tidak baik. Hal ini dapat dilihat ketika Malom tidak bisa mengendalikan dirinya ketika sedang marah. Sehingga Ia memukuli Lepi dan Irewa. Maka dari itu, kita perlu belajar mengontrol emosi dan belajar bermoral yang baik. sehingga tidak memberikan dampak buruk terhadap kehidupan orang lain. Malom memiliki moral yang buruk atau tidak baik sehingga ia tetap memarahi Irewa untuk terus bekerja. Hal ini dapat dilihat ketika Irewa tetap menerima perlakuan seperti kekerasan fisik yang dilakukan oleh Malom setiap hari. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan Novel berikut.

“pada hari keempat, Irewa belum juga sembuh dari sakitnya. Malom mulai memarahinya. Irewa bilang, ia merasa tidak ada tenaga untuk bekerja. Malom mengatakan betatas harus selalu ada. Ia lapar. Babi-babi harus di beri makan. Irewa menjelaskan tentang sakitnya. Malom kesal. Irewa di anggap banyak bicara. Mulut Irewa yang sedang bicara itu ditamparnya. Malom bilang, besok Irewa harus sudah pergi ke kebun lagi” (I:73).

 

 Irewa sudah  menduga malom akan marah. Irewa menjawab, “hamang nenaeisele emei roibuyae helemende” yang artinya makanan tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus diusahakan. Maksud kalimat itu untuk menyindir. Irewa sebenarnya tidak bermaksud melawan Malom. Tapi memang ia ingin memberi teguran halus, dan Malom marah sekali mendapat sindiran itu. Emosi yang tidak terkontrol dilakukan oleh Malom untuk Irewa dikarenakan Malom memiliki moral yang kurang baik hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

            “Malom marah. Irewa sudah menduga Malom akan marah. Irewa menjawab,hamang nenaeisele emei roibuyae helemende yang artinya makanan tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus diusahakan. Ini sebetulnya kata-kata biasa yang juga sering diucapkan para mama di Hobone untuk anaknya. Maksud kalimat itu untuk menyindir. Irewa sebenarnya tidak bermaksud melawan Malom. Ia tahu apa yang akan dialaminya kalau melawan. Tapi memang ia ingin sedikit memberi teguran halus. Irewa melihat laki-laki lain di zaman sekarang mulai bekerja. Tidak diam saja seperti dilakukan Malom. Malom marah sekali mendapat sindiran itu. Dengan cepat ia mendekat ke Irewa. Bibir Irewa ditampar keras.  Setelah itu Irewa dipukuli. Saat tubuh Irewa jatuh, ia ditendang berkali-kali. Irewa tak sempat membalas atau mengelak karena Malom mendekat padanya dengan sangat cepat. Irewa tersungkur. Tubuhnya meringkuk di tanah. Kedua kakinya terlipat. Tangan kanan dan kiri menyilang di pundak. Menahan segala kesakitan. Seluruh tubuhnya nyeri”.(I:138)

 

 

 

2.      Mandiri.

“Mandiri adalah keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain” (Moeliono, 2008: 873), sedangkan Menurut Monks, dkk (dalam Astuti, 2013) mengatakan bahwa  orang yang mandiri akan memperlihatkan perilaku yang eksploratif, mampu mengambil keputusan, percaya diri dan kreatif. Selain itu juga mampu bertindak kritis, tidak takut berbuat sesuatu, mempunyai kepuasan dalam melakukan aktifitasnya, mampu menerima realita serta dapat memanipulasi lingkungan, berinteraksi dengan teman sebaya, terarah pada tujuan dan mampu mengendalikan diri.

Irewa adalah perempuan yang kuat, ia tidak pernah bergantung pada siapapun, ia tetap percaya diri dan tetap menjalankan tugasnya sendiri. Hal inilah yang terkandung dalam kutipan.

“ kalau pagi Irewa mendayung perahu, pergi ke tengah danau menjaring ikan. Setelah mendapat ikan, ia pulang. Ikan dikeringkan. Nanti akan di masak untuknya dan Malom. Setelah itu, Irewa pergi ke kebun yaang letaknya jauh. Tanah dibersikan. Dari alang-alang dan segala tanaman pengganggu. Jika ada ulat atau serangga dibuang. Ia lalu memetik sayur yang sudah bisa di panen untuk dibawah pulang.”(I:64)

“ Dua atau tiga kali dalam seminggu Irewa harus pergi ke hutan sagu untuk merawat pohon sagunya. Ia akan berjalan kaki menuju danau. Lalu naik perahu. Mendayung. Lalu jalan kaki lagi, baru tiba di kebun sagu. Disana sudah menunggu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Membersikan semak-semak belukar. Mengumpulkan. Membiarkan kering dulu, lalu membakarnya. Kebun sagu yang harus dalam keadaan bersih agar hasil sagu nanti bisa baik. Lalu meremas sagu kalau tiba waktu panen. Untuk saja merawat kebun. Sagu tidak harus dilakukan setiap hari. Irewa kadang mengambil daun pandan hutan saat berada di hutan sagu. Jika ada sisah waktu di sore hari, daun pandan itu di anyam. Dan di buat tikar. Begitulah kurang lebih hidup yang di jalani Irewa.”(I:64-65)

 

Irewa merupakan perempuan yang kuat dan mandiri dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang perempuan. Istilah kemandirian menunjukan adanya kepercayaan akan sebuah kemampuan dalam menyelesaikan masalah tanpa bantuan dari orang lain . Ia dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, mampu mengambil keputusan sendiri, mempunyai inisiatif dan kreatif, tanpa mengabaikan lingkungan di sekitarnya.

3.      Bertanggung Jawab.

Manusia mempunyai tuntutan yang besar untuk bertanggung jawab mengingat ia mementaskan jumlah peranan dalam dalam konteks social, individual maupun teologis. Moeliono (2008:1398) menyatakan bahwa bertanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb). Sedangkan Menurut Mustari (2014: 19)
Menurut Mustari, definisi tanggung jawab ialah sikap dan perilaku seseorang dalam menjalankan tugas serta kewajibannya sebagaimana yang seharusnya diterapkan terhadap diri sendiri,, masyarakat, lingkungan dan negara serta Tuhan.

Seperti yang terdapat dalam Novel tentang nilai bertanggung jawab yang dapat dimiliki oleh seorang tokoh Irewa dapat dilihat pada kutipan berikut.

“ pekerjaan bertambah berat dengan adanya Merry dan Kiwana yang masih kecil itu, tanggung jawab tentang anak dan tentang makanan, adalah tanggung jawab perempuan. Laki-laki Megafu tidak pernah mengurus dua hal itu. Karena semua itu, Irewa jatuh sakit. Bagian dalam di kelopak matanya pucat. Kulitnya juga pucat kekuningan” (I:72)

 

Tanggung jawab manusia terhadap dirinya akan lebih kuat intensitasnya apabila ia memiliki kesadaran yang mendalam. Tanggung jawab adalah kesadaran seseorang terhadap perbuatan maupun perilaku yang secara sengaja. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang berani menanggung resiko atas apa yang menjadi tanggung jawabnya. Sehingga dalam Novel Isinga, seorang tokoh Irewa memikirkan tanggung jawab yang sangat besar, ia juga memiliki keinginan dan tanggung jawab yang seimbang karena perempuan di Megafu tidak lagi dihargai.

 Hal tersebut dapa dilihat pada kutipan berikut.

 “Irewa melihat dirinya lagi. Lalu anak-anak. Tanggung jawab! Ah! Irewa sekarang memikirkan tentang tanggung jawab manusia. Kini timbang- menimbang antara keinginan dan tanggung jawab. Irewa lalu ingat pada anak-anaknya. Ia sangat menyayangi mereka. Ah! Irewa marah! Kini pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia tega meninggalkan anak-anaknya?! tidak , kata Irewa. Ia menolak keinginan kuat untuk bunuh diri. Irewa juga jadi ingat tentang hidupnya lagi. Ia merasa harus menghargai dirinya sendiri. Di Megafu perempuan sudah tak dihargai. Oleh karena itu, perempuan dihargai harus oleh perempuan itu sendiri. Tak bias ia mengharapkan  hal itu dari orang lain”(I:142)

 

 

4.      Cakap.

Moeliono (2008:236) menyatakan bahwa cakap berarti sanggup melakukan sesuatu, mampu, serta orang dapat disebut cakap, jika orang itu pandai menggunakan daya akal dan pikirannya dengan baik sehingga pekerjaan yang dilakukan dapat berlangsung dengan cepat dan lancar. Sedangkan,

 Menurut Mawardi (2012:287), life skill atau kecakapan hidup sebagai kontinum pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang untuk berfungsi secara independen dalam kehidupan. 

Penjelasan dalam kurikulum 2004, mencari hidup adalah “ kecakapan yang dimiliki seseorang untuk memecahkan masalah hidup secara wajar dan menjalani kehidupan secara bermartabat tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif menemukan solusi, sehingga akhirnya mampu mengatasinya”. Seperti yang terdapat dalam novel Isinga, Irewa memiliki hambatan untuk berjalan kaki menuju danau, lalu naik perahu, kemudian jalan kaki lagi tetapi Ia mampu mengatasinya dalam melaksanakan suatu pekerjaan dua atau tiga kali dalam seminggu untuk merawat pohon sagunya. terdapat dalam kutipan.

“ Dua atau tiga kali dalam seminggu Irewa harus pergi ke hutan sagu untuk merawat pohon sagunya. Ia akan berjalan kaki menuju danau. Lalu naik perahu. Mendayung. Lalu jalan kaki lagi, baru tiba di kebun sagu. Di sana sudah menunggu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Membersikan semak-semak belukar. Mengumpulkan. Membiarkan kering dulu, lalu membakarnya. Kebun sagu harus dalam keadaan bersih agar hasil sagu nanti bisa baik. Lalu meramas sagu kalau waktu panen. Untung saja merawat kebun sagu tidak harus dilakukan setiap hari. Irewa kadang mengambil daun pandan hutan saat berada di hutan sagu. Jika ada waktu sisah di sore hari, daun pandan itu dianyam dan dibuat tikar. Begitulah kurang lebih hidup yang dijalani Irewa” (I:64-65)

 

 

 

5.      Berilmu

Psillos dan Curd (2008) Menurut pendapat Psillos dan Curd, ilmu adalah pemikiran yang berkaitan dengan perkara-perkara filosofis dan mendasar dari sebuah wawasan. Ilmu merupakan hal yang sangat penting dalam hidup untuk memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan. Adapun ciri-ciri orang berilmu (Gym,2007), yaitu: 1. Orang yang berilmu mampu mengambil hikmah dari suatu peristiwa, (2). Memperoleh kedamaian dalam hidupnya karena mampu menyikapi setiap masalah secara bijaksana, (3). Mampu menggunakannya untuk kebaikan, dan (4). Orang yang berilmu, berhasil dan sukses dalam hidupnya.

Seperti yang terdapat dalam Novel Isinga, Irewa menceritakan pengalamannya serta melakukan sesuatu dengan cara berfikir orang lain khususnya perempuan pegunungan Megafu agar lebih menghargai hidup perempuan itu sendiri. Perjuangan selanjutnya yang dilakukan Irewa adalah mengubah pandangan orang lain tentang hal perempuan dengan cara menceritakan pengalamannya saat terkena penyakit sifilis. Terdapat dalam kutipan tersebut.

            “ Irewa kini sudah lebih menyadari akan dirinya. Zaman dulu, yonime diminta menjaga keselarasan masyarakat di dua kampung. Irewa kini berfikir, ia tak mau terikat hanya pada dua kampung itu saja. Kebutuhan untuk waktu sekarang adalah, ia harus ikut memikirkan keharmonisan pada tempat dimana ia berada saat ini. Irewa merasa terpanggil untuk menjadi orang yang punya pengaruh mengubah pandangan orang lain”  (I:157).

            “Irewa mulai menyampaikan pendapatnya tentang pelacuran. Ia menceritakan pengalamannya saat terkena penyakit sifilis. Ia menceritakan walau perempuan hanya melakukan hubungan badan dengan suami saja, terkena penyakit kelamin. Ia juga mengajak para perempuan pedagang di pasar menjaga anak laki-lakinya hati-hati” (I:157) 

 

Perjuangan Irewa terus berlanjut dengan melakukan kegiatan dalam bentuk memberikan pengetahuan dan berbagi pengalaman kepada perempuan di daerah-daerah pedalaman dengan dibantu oleh Jingi, saudara kembarnya dan ibu Selvi, kepala desa di tempat tinggalnya. Terdapat dalam kutipan tersebut.

            “Irewa tetap meneruskan kegiatannya. Menjaga keharmonisan. Kini dibantu Jingi, ia memberikan pengetahuan pada perempuan di daerah-daerah pedalaman. Pengalaman yang disampaikannya pertama kali di pasar itu di sampaikanya pula ke perempuan lain di tempat lain. Jingi menambahi penjelasan dari segi kesehatan. Jingi dan Irewa terus bergerak dari satu wilayah ke wilayah lain. Irewa mengatur waktunya mengerjakan itu saat semua pekerjaan di rumah sudah diselesaikan” (I:159)

            “Irewa lalu menceritakan pengalamannya sendiri bahwa ia juga dulu pernah terkena penyakit sifilis. Sama dengan dirinya, banyak perempuan di pedalaman yang tak tahu-menahu soal penyakit itu. Lalu membiarkan saja. Tak tahu harus bagaimana. Diobati sendiri dengan cara yang diajarkan nenek moyang dulu. Tapi tidak sembuh-sembuh. Mereka tidak tahu kalau harus berobat ke dokter. Lalu akhirnya meninggal dunia.” (I:186)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

6.      Berakhlak Mulia.

 

Pendidikan adalah sebuah proses transfer of value. Value yang dimaksud adalah nilai-niai moral, seperti etika, budi pekerti yang luhur, kejujuran dan sebagainya. (Rinaldimunir,2006). Semua nilai-nilai moral ini dinamakan akhlak. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan karakter yang berakhlak mulia, yaitu membentuk manusia untuk menjujung tinggi nilai-nilai moral dalam setiap langkah kehidupannya. “Akhlak adalah budi pekerti;kelakuan.” Hal ini menandakan bahwa akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi adalah kasih sayang, kebenaran, kebaikan, kejujuran, amanah, dan tidak menyakiti orang lain. Seperti yang terdapa dalam Novel tersebut.

“Aitubu akan mengadakan upacara syukur karena baru saja terjadi tanah longsor yang melanda empat dusun. Sekaligus akan diadakan  upacara  wit atau upacara inisiasi. Yakni upacara anak masuk kea lam kedewasaan. Ada tiga anak laki-laki yang masih kecil-kecil akan menjalani upacara wit. Umur mereka sekitar 8-10 tahun. Kedua upacara itu diadakan agar anak-anak tumbuh sehat. Agar tanah longsor tak ada lagi. Agar kebun menghasilkan betatas yang banyak. Agar babi-babi tumbuh dengan baik. Agar masyarakat mendapat makanan cukup. Semua demi kemakmuran masyarakat Aitubu yang terletak di Lembah Piriom.” (I:2)

 

Akhlak yang mulia adalah sebuah keadaan yang melekat di dalam diri seseorang yang diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan positif bagi kehidupan dalam hal ini menjadi kebiasaan di perkampungan Aitubu untuk menyelenggarakan upacara adat yang besar. Yakni upacara Muruwal. Meage salah satunya yang mengikuti upacara Muruwal. Upacara tersebut merupakan upacara rahasia untuk laki-laki yang diadakan hanya sekali dalam dua puluh atau tiga puluh tahun. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Sekitar dua tahun setelah upacara wit, perkampungan Aitubu menyelenggarakan upacara adat yang lebih besar. Yakni upacara Muruwal. Ini adalah upacara paling penting di seluruh Lembah Piriom. Sebuah upacara rahasia untuk laki-laki. Sakral. Diadakan hanya sekali dalam dua puluh atau tiga puluh tahun. Mereka yang sudah di-wit selanjutnya harus mengikuti upacara ini” (I:19)

“Ada sekitar tiga puluh lima-an orang yang akan mengikuti upacara muruwal. Meage adalah salah satunya. Sebelum upacara dilaksanakan, semua keluarga yang akan mengikuti upacara menyiapkan berbagai bahan makanan, yakni betatas, keladi, sayur lilin, kacang panjang, ketimun. Juga buah-buahan. Juga pisang,labu. Lalu beberapa ekor babi. Kuskus. Katak. Ular. Burung. Cacing kayu. Belalang. Serangga. Juga kayu-kayu. Semua dikumpulkan. Lalu diserahkan ke pelaksana upacara.” (I:19)

 

 

7.      Kreaktif.

 

Kreatif adalah memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk  menciptakan, bersifat (mengandung) daya cipta. (Moeliono,2008:739). Orang yang kreatif merupakan orang yang terus menerus membuat perubahan dan perbaikan secara bertahap pada pekerjaan mereka. Salah satu ciri orang yang kreatif adalah ia mampu memunculkan beragam alternatif dari permasalahan yang dihadapinya. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli psikologi terhadap orang-orang yang berfikir kreatif telah menghasilkan beberapa kriteria atau ciri-ciri orang yang kreatif.

Dalam (Duwi Santoso 2013), penelitian terhadap para penulis dan arsitek yang kreatif melalui identifikasi oleh anggota profesi mereka menghasilkan, bahwa orang yang mempunyai kreatifitas yang tinggi itu cenderung memiliki ciri-ciri: Kreatif dimulai dengan rasa ingin tahu dan keterbukaan terhadap hal-hal baru dan didasari dengan sikap yang bersemangat dan keberanian untuk mengambil resiko (Duwi Santoso 2013).

Irewa mempelajari banyak hal. Hal yang benar-benar baru bagi dirinya kalau perempuan Hobone harus menangkap ikan menggunakan jaring. Jalanya harus dibuat sendiri kalau rusak harus diperbaiki sendiri. Orang Hobone menangkap ikan dengan cara menyelam. Berhari-hari, berminggu-minggu Irewa belajar mengatasi ketakutannya pada air. Ia harus membiasakan diri dengan Danau Ilom untuk bisa masuk ke dalam air tanpa bantuan apa-apa. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Pada hari-hari awal Irewa tinggal di Hobone, Malom dan para laki-laki Hobone pergi ke hutan untuk bergotong-royong membuat perahu dari pohon soang ini. Untuk kayu bakar, Irewa diberi tahu sebaiknya ambillah dari kayu garis, matoa, waru, atau kayu kasuari. Jenis-jenis itu jika dibakar, kayunya bisa menyala dengan baik. (I:59)

Begitulah, Irewa langsung mempelajari banyak hal. Hal yang benar-benar baru baginya adalah seputar danau. Mama Fos Malom memberi tahu, perempuan Hobone menangkap ikan dengan menggunakan jarring. Jalanya harus dibuat sendiri dan kalau rusak harus diperbaiki sendiri. Kadang juga ada orang Hobone yang menangkap ikan pada malam hari. Lebih sulit pasti. Juga dingin dan gelap. Untuk penerang, mereka membawa obor yang terbuat dari pelepah sagu atau pelepah kelapa. Cara yang lain adalah dengan menyelam. Irewa yang pernah hampir mendapat celaka di sungai Warsor sangat ketakutan dengan soal menyelam ini. Namun mama Fos mengatakan, “semua perempuan Hobone bisa menyelam dan kamu juga harus bisa. Sekarang kamu orang Hobone katanya.”(I:59-60)

Berhari-hari, berminggu-minggu, Irewa belajar mengatasi ketakutan pada air. Membiasakan diri dengan air Ilom. Lalu, setelah itu berjam-jam ia belajar untuk bisa masuk ke bawah air. Menyelam cara perempuan Hobone. Yaitu masuk ke dalam danau tanpa bantuan apa-apa. Hanya menahan napas saja. Di situ Irewa belajar, bagaimana menghemat napas. Mengeluarkan udara sedikit demi sedikit dari paru-paru. Lama-lama Irewa jadi suka menyelam. Tak selalu ia bisa mendapatkan ikan. Irewa juga sudah mampu mendayung perahu. Ini hal sehari-hari yang dilakukan perempuan Hobone selain berkebun dan mengolah sagu.”(I:60).

 

 

 

 

BAB  V

         PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :

1.      Nilai Moral yang ditunjuk oleh tokoh Malom dalam novel Isinga adalah Ia sangat kasar dan sangat emosional bahkan tidak bisa mengendalikan diri ketika sedang marah.

2.      Mandiri yang ditunjuk oleh tokoh Irewa adalah dengan keadaan berdiri sendiri, ia tidak bergantung pada orang lain. Irewa  lebih mandiri, cenderung tentram dalam menghadapi hidup dan memiliki mental yang kuat.

3.      Bertanggung jawab dalam novel Isinga yang ditunjuk oleh seorang tokoh Irewa adalah Ia memiliki peranan penting sebagai seorang perempuan yang sangat bertanggung jawab dengan pekerjaan dan anak-anaknya.

4.      Cakap dalam novel Isinga yang ditunjuk oleh seorang tokoh Irewa adalah Ia pandai untuk mengatur semua pekerjaan sehingga semua dapat berjalan dengan cepat dan lancer.

5.      Berilmu dalam novel Isinga yang menceritakan seorang tokoh Irewa adalah ia berjuang dan terus berlanjut dengan melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan serta pengalaman yang dialaminya.

6.      Berakhlak mulia dalam novel Isinga yaitu membentuk manusia untuk menjunjung tinggi nilai moral dalam setiap kehidupannya, salah satunya di perkampungan Aitubu diadakan upacara adat dan upacara syukur.

7.      Kreatif dalam novel Isinga yaitu dimulai dengan rasa ingin tahu dan keterbukaan terhadap hal-hal baru dan didasari dengan sikap yang bersemangat dan keberanian untuk mengambil resiko dengan cara menangkap ikan menggunakan jarring yang dilakukan oleh perempuan Hobone.

 

 

 

B.     Saran

Berdasarkan hasil penelitian tentang sosiologi sasta dalam Novel Isinga Roman Papua karya Dorothea Rosa Herliany tinjauan sosiologi sastra dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1.      Pembaca dapat menambah daya apresiasi terhadap sastra Indonesia khususnya dalam Novel.

2.      Pembaca dapat meningkatkan kepribadian mereka ketika membaca berbagai nilai pendidikan dalam Novel tersebut.

3.      Pembaca dapat mengambil hal-hal positif yang dapat dijadikan sebagai contoh untuk hidup yang lebih baik dan bertanggung jawab.

4.      Peneliti lain, dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang karya sastra khususnya Novel.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Afand. 2013. Pengertian sehat, (Online), (http://www.adafase.co.id, diakses selasa 10 maret 2014).

Gym. A. A. 2007. Kelebihan orang berilmu, (Online), (http://www.wikipidia.com, diakses 11 maret 2014).

https://tirto.id/mengenal -penelitian-kualitatif-pengertian-dan-metode-analisis

https://jendralgaram.com/jenis-jenis-novel/

Ihsan. F. H. 1995. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Jasman. 1993. “Analisis Hubungan Unsur-unsur Novel Lho Karya Putu Wijaya”. Skripsi tidak diterbitkan. Jambi: FKIP UNJA.

Kaswardi, EM. K. (Ed). 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia.

Moeliono, M. A. (Eds). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mustofa. A. 1999. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia.

Moleong, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Purba, A. 2010.Sastra Indonesia Kontemporer. Yogjakarta: Graha Ilmu.

Purwanto, N. 1995.Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya Bandung.

Rinaldimunir. 2006. Esensi dari pendidikan adalah akhlak yang mulia, (Online), (http://www.wordpress.com, diakses selasa 10 maret 2014).

Sastrapadja, M. 1978. Kamus Istilah Pendidikan dan Umum. Surabaya: Usaha Nasional.

Santoso, D. 2013. Ciri-ciri berfikir kreatif (Online), (http://www.galeri pustaka.com, diakses 07 april 2014).

Sukonto.2005. Panduan Belajar SMA kelas 3. Primagama: Jambi

Siagian, E. dkk. 2007. Kebebasan beragama, (Online), (http://www.beriman.com, diakses 11 maret 2014.

Uswatun, X2. 2011. Pengertian cakap atau berkecakapan, (Online), (http://id.shvoong.com, diakses 07 april 2014).

Woolfolk dan Nicolich (1984). Educational Psychology for Teachers. New Jersey: Printice Hall.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sinopsis :

“Matahari dan bulan itu bagaikan dua bersaudara. Matahari adalah anak lelaki dan bulan adalah anak perempuan. Bulan datang pada malam hari. Ia mengerjakan tanah. Matahari datang pada siang hari. Ia menanam bibit. Dan bintang? Bintang adalah  mata burung, mata kuskus, mata kodok, sedangkan yang cahaya cemerlang itu masa manusia.”

Itulah kepercayaan masyarakat Aitubu tentang bulan, bintang dan manusia. Sebuah upacara adat penting sedang disiapkan di situ. Di perkampungan Aitubu. Sebuah perkampungan yang orang-orangnya memakai hiasan di hidung.

Saat itu Aitubu akan mengadakan upacara syukur karena baju saja terjadi tanah longsor. Orang-orang Aitubu sudah menghuni bagian tengah papua, pulau besar berbentuk burung, itu selama seratus tahun. Ada sebuah kampung yang menjadi tetangga mereka, kampung  Hobone. Kebiasaan dan kehidupan sehari-hari keduanya sama. Perkampungan-perkampungan ini terletak di daerah terpencil.

Di antara mereka juga ada beberapa orang kulit putih. Dua pasang suami istri yang sudah dianggap bagian dari masyarakat Aitubu. Pasangan pertama adalah pendeta Ruben dan istrinya Marike. Berasal dari Jerman. Anak mereka dua, laki-laki dan perempuan, masih kecil-kecil. Pasangan kedua adalah dokter Leon dan Lea, istrinya. Mereka tidak punya anak. Pasangan ini berasal dari Jerman juga. Dokter Leon bekerja mengobati penduduk yang sakit. Sehari-hari dibantu Suster Karolin, warga Belanda. Kadang jika ada masalah kesehatan yang lebih gawat ada suster lain yang didatangkan dari Manado. Suster Wawuntu namanya.

Pada upacara tersebut para pemuda sangat sibuk. Beberapa menjinjing perlengkapan musik. Meage, salah seorang pemuda Aitubu, memegang tifa. Ia siap menampilkan kecakapannya memainkan tifa.

Masyarakat Aitubu  adalah sebuah keluarga besar. Jika mereka melaksanakan upacara adat, seluruh isi perkampungan datang dan bahu membahu menyiapkan acara.

Irewa ongge tampak berlari-lari dari atas lerang gunung ke lapangan bawah. Gadis cilik ini lalu bergabung di antara kerumunan banyak orang. Ia sendirian saja. Ibunya mama Kame, sudah lebih dulu datang. Bapaknya, Bapa Lalobar, juga sudah pergi dari pagi. Bersama para laki-laki dewasa lainnya, Bapa Lalobar menyiapkan segala keperluan upacara.

Irewa kini memerhatikan para penari yang sedang berjalan setengah berlari, sambil menari dan menyanyi-nyanyi. Irewa lalu berlari mendekat kea rah bunyi suara tifa, Meage sedang membunyikan tifa. Meage sangat terampil dalam memainkan tifa tersebut.

Meage juga merupakan anak angkat dari Dokter Leon dan istrinya Lea. Lea sudah mendambakan anak sejak lama. Jadi sejak bayi, Meage diasuh bersama-sama  oleh keluarganya sendiri dan keluarga dokter Leon.

Suatu hari Irewa dan mama Kame berkebun. Irewa mengatakan kepada mamanya ia ingin ke sungai, mencuci sayur-sayuran itu karena berdebu. Sungai Warsor memang tampak menyenangkan bagi seorang anak. Sungai itu panjang. Ainya jernih. Tak jauh dari situ juga ada air terjun.

Irewa melangkah ke tengah. Tapi Irewa tak tahu arus sungai ternyata makin kuat mengalir. Tiba-tiba saja tubuhnya terjatuh. Tepat pada saat itu, Meage sedang akan melangkah ke atas jembatan dan ia melihat tubuh perempuan dan tangannya yang menggapai-gapai. Meage berlari dan menarik tangan Irewa. Irewa mengucapkan terima kasih pada Meage.

Hari demi hari berlalu, dan tumbuh perasaan suka yang mendalam dari hati kedua insan tersebut. Hati Meage sudah mentap mengatakan ia mencintai Irewa. Beberapa waktu sebelumnya, ada pemuda lain yang juga menyatakan diri menyukai Irewa. Malom Wos namanya. Irewa sudah menolak cintanya. Irewa tidak menyukai orang seperti Malom, apalagi Malom seperti orang yang tidak tau diri.

Meage ingin melamar gadis cantik itu. Irewa pun menerima cintanya. Meage senang sekali. Ia lalu pulang ke dusunnya dan memberitahukan mama dan neneknya. Meage lalu mengatakan bahwa ia segera akan punya istri. Irewa, itulah perempuan yang dipilihnya. Kedua, ia ke rumah dokter Leon dan mengatakan hal yang sama.

Berbagai ritual tata cara pelamaran antara keluarga Meage dan keluarga Irewa dilaksanakan. Irewa Ongge dan Meage Aromba. Keduanya saling bertatapan dan senyum.

Namun disamping mempersiapkan acara lamaran, irewa di culik. Perkampungan Hobone dan perkampungan Aitubu sudah lama saling bermusuhan. Malom dari Hobone menculik Irewa. Ini memicu perang tak berkesudahan antara kampung Aitubu dan Hobone.

Perang berkepanjangan pada akhirnya sampai di titik terjenuh. Pihak Hobone berinisiatif mengajukan tawaran perdamaian agar warga Aitubu merestui Irewa dipersunting Malom. Irewa dipilih untuk ditumbalkan sebagai yonime: juru damai dari dua adat yang bertikai. “perempuan bisa menolak laki-laki saat dilamar” tapi dia tak bisa menolak saat diminta seluruh penghuni perkampungan untuk kepentingan perdamaian. Irewa tak kuasa melawan kehendak adat.

Sejak pertunangan itu Irewa menepaki babak baru dalam hidupnya, hari-hari yang panjang sebagai pesakitan. Menjadi jurudamai berarti memberi diri pada kepentingan adat. Kepatuhan pada adat ikut melanggengkan penguasaan otoritas suami atas istri. Hasrat Malom untuk memiliki banyak anak berakibat fatal pada Irewa. Tugas Irewa sebagai istri bekerja di lading, hamil, dan melahirkan.

Sudah beberapa hari Irewa merasa badannya mudah sekali merasakan lelah. Sering terengah-engah ketika sedang bekerja. Napasnya terasa sesak. Kalau pagi ia seperti ingin muntah. Kalau sedang di kebun, saat posisi tubuh membungkuk dan matahari menyengat, kepalanya terasa pusing sekali. Irewa tidak berangkat ke kebun hari itu. Sudah beberapa hari Irewa tidak melakukan apa-apa. Betatas di rumah sudah habis sejak hari kemarin. Kiwana dan Mery (anak-anak) juga menangis karena lapar, minta makan.

Pada hari keempat, Irewa belum juga sembuh dari sakitnya. Malom mulai memarahinya. Irewa bilang, ia merasa tidak ada tenaga untuk bekerja. Malom mengatakan betatas harus selalu ada. Ia lapar. Babi-babi harus diberi makan. Irewa menjelaskan tentang sakitnya. Malom kesal. Irewa dianggap banyak bicara. Mulut Irewa yang sedang bicara itu ditamparnya. Malom bilang, besok irewa harus sudah ke kebun lagi.

Begitulah hari-hari Irewa. Seperti sudah ditetapkan bahwa ia harus terus menerus bekerja. Juga harus terus-menerus beranak. Setelah anak yang kedua itu, Irewa hamil lagi. Tapi karena pekerjaan yang berat dan makan kurang, kembali Irewa keguguran. Tak lama Malom mengajak bersetubuh lagi. Lalu Irewa hamil lagi. Anak yang lahir dan hidup kali ini seorang anak laki-laki. Diberi nama Ansel. Jadi pada waktu singkat Irewa sudah punya tiga orang anak. Perempuan,perempuan,laki-laki. Irewa tahu perkara anak tak ada selesai. Irewa harus terus menerus mau menerima ajakan Malom bersetubuh. Malom ingin anak laki-laki sebanyak-banyaknya.

Saat Irewa hendak ke kebun, ada seorang laki-laki yang mengintainya. Laki-laki itu bernama Lepi. Mereka bertemu dan melakukan hubungan suami istri karena Lepi menggunakan mantra yang didapatkan dari dukun. Hari berlalu gerak-gerik Irewa diketahui oleh Malom. Suatu hari Malom mengikuti Irewa ke kebun dan melihat apa yang dilakukan oleh Lepi terhadap Irewa. Ia pun memunculkan diri Irewa dan Lepi kemudian ditendang. Malom memukul Lepi hingga Lepi tak mampu melakukan serangan balik. Irewa yang sudah berdiri kembali dipukuli oleh Malom sehingga kembali terjatuh. Malom menendang tubuh Irewa, perutnya diinjak oleh kedua kaki Malom.

Sejak peristiwa itu, irewa sama sekali tidak bisa menolak ajakan bersetubuh dari Malom. Sejak itu pula, Malom juga jadi lebih muda memukul Irewa.

Irewa jatuh sakit lagi. Ia tak bisa pergi ke ladang. Musim kemarau panjang. Betatas di ladang juga sudah tak ada yang bisa diambil. Betatas yang ada di rumah sungguh harus dihemat. Malom lapar. Betatas matang tak ada. Ikan tak ada. Malom marah dan memukul Irewa.

Tak peduli tubuh lungkrah dan lemah. Hamper separuh buku ini mengisahkan malapetaka hidup Irewa di bawah Jeratan kekerasan dan penindasan Malom. Makin banyak anak laki-laki, tambah berharga dan bermartabak. Tanah luas dan  keturunan banyak. Anak laki-laki juga berguna agar prajurit mati ada yang menggantikan. Keinginan Malom punya banyak anak berdalih warisan dan kekuasaan. Anak laki-laki jadi tumpuan saat perang.

Irewa lalu meninggalkan rumah. Ia sudah tak tahan lagi dengan perlakuan Malom. Irewa merasa tidak sehat sebetulnya. Badannya merasa kedinginan. Menggigil. Demam. Keringat keluar. Tapi ia memaksakan diri untuk pergi. Kali ini Irewa tidak menuju ke kebun. Juga tidak ke sungai. Juga tidak ke danau. Tidak ke kebun sagu. Tapi ke arah yang selama ini belum pernah ia tuju. Selatan.setelah itu menuju timur jauh untung saja anak-anaknya tidak rewel.

Tak lama kemudian Irewa sampai di dusun Eryas. Irewa sudah merasa lega. Ia teringat pada Meage yang dulu tinggal di dusun itu. Eryas adalah dusun pertama Aitubu. Ia dan anak-anaknya terus berjalan melewti sungai Warsor. Sungai yang dianggap miliknya dan miliki Meage. Irewa ingat pada laki-laki yang dicintainnya itu.

Hati Irewa tambah lega ketika kakinya sudah menginjak Dusun Kapo, tempat tinggalnya yang dulu. Ada bangunan baru yang bentuknya seperti “sekolah setahun”  yang didirikan pendeta Ruben dulu.

Mama Kame kaget melihat keadaan Irewa. Mama dan anak itu berpelukan. Hanya sebentar, Irewa langsung lemas. Terjatuh di lantai tanah. Ia pasti lelah kondisi tak sehat ditambah melakukan perjalanan sangat jauh. Badannya layu seperti daun kena matahari. Mama Kame pun kemudian memberi Irewa minum dan membaringkan Irewa ditempat yang lebih enak.

Keesokan harinya, Mama Kame kaget, tikar pandan yang dipakai oleh Irewa untuk tidur penuh dengan darah. Wajahnya pucat dan keadaannya semakin parah. Mama Kame lalu lari ke rumah sakit meminta pertolongan.

Disitu hanya ada suster Wawuntu dan dibantu oleh seseorang yang masih muda. Perempuan. Mama Kame menemui suster Wawuntu. Lalu menceritakan kondisi Irewa. Suster Wawuntu segera mengambil peralatan, lalu pergi ke tempat mama Kame.

Suster Wawuntu pun memeriksa kondisi Irewa dibantu oleh perempuan muda itu. Setelah perawatan selesai dilakukan, suster Wawuntu memberi tahu, masa kritis sudah dilewati dan Irewa akan segera pulih.

Setelah Irewa pulih, suster Wawuntu memanggil perempuan muda itu dan memperkenalkannya kepada mama Kame dan Irewa. Nama perempuan muda itu adalah Jingi Pigay. Jingi juga diberitahu bahwa yang sedang bersama-sama dengan ia adalah mama Kame dan yang sakit adalah Irewa Ongge.

“Jingi, Irewa dan mama Kame, sebetulnya adalah sebuah keluarga. Ibu-anak” kata suster Wawuntu tenang. Jingi kaget. Mama Kame kaget. Sama sekali tak mengerti.

Lalu suster Wawuntu menyampaikan sebuah cerita panjang. Saat itu suster Wawuntu dan suster Karolin yang membantu persalinan mama Kame. Pada waktu Mama Kame melahirkan, kandugannya ada masalah. Dukun Aitubu tak bisa mengobati. Tak ada orang pandai lain yang bisa membantu mengeluarkan bayi dalam kandungan.

Masalah yang dialami Mama Kame pun dilakukan sebuah penanganan khusus. Penanganan berjalan lancar. Bayi keluar dengan selamat. Ternyata bayi kembar. Itu masalah. Menurut kepercayaan masyarakat di pegunungan Megafu, kalau ada bayi kembar, salah satunya harus dibuang  ke sungai atau dibunuh. Suster Karolin dan suster Wawuntu tidak mau melakukan semua itu.

Suster Karolin dan suster Wawuntu mengatur siasat bahwa bayi tersebut tidak akan dihanyutkan namun ia akan dirawat dan diasuh oleh suster Karolin karena suster Karolin juga tidak mempunyai anak. Si bayi kemudian diberi nama Jingi Pigay.

Walau tempat tinggal suster Karolin dan  mama Kame tidak terlalu berjauhan, tapi mama Kame tidak pernah tahu bahwa bayi di rumah suster Karolin adalah anaknya. Baru beberapa bulan mengasuh, suster Karolin diminta oleh kantor pusat agar pulang ke negaranya Belanda karena ada masalah yang harus di urus. Suster Karolin lalu menitipkan Jingi ke suster Wawuntu, tak lama pula setelah itu, suster Wawuntu juga harus pulang ke kota asalnya Manado, Jingi lalu dibawahnya ke Manado.

Jadi, Jingi tahu bahwa dia punya dua ibu. Mama Karolin dan Mama Wawuntu. Dua suster itu saling mendukung dalam hal biaya hidup dan biaya pendidikan Jingi. Sejak kecil, suster wawuntu sering mengajak Jingi ke rumah sakit, tempat ia bekerja. Jingi mulai menyukai pekerjaan menolong orang sakit. Ketika semakin besar, ia sering membantu mama Wawuntu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ringan di rumah sakit. Setelah selesai sekolah menengah, suster Wawuntu mendukung keinginan Jingi mendalami bidang kesehatan.

“Inilah anak Mama Kame yang dibuang dulu itu, Mama” kata suster Wawuntu pada mama Kame.

Diterangkan lagi, sekarang Jingi sedang belajar di perguruan tinggi. Sekolah dokter di Manado. Jingi datang ke Aitubu karena ikut Mama Wawuntu yang dipanggil ke desa itu. Ia pun juga ingin melihat perkampungan yang sering diceritakan mamanya. Begitulah suster Wawuntu mengakhiri cerita.

Mama Kame kaget. Tak menyangka sama sekali. Perempuan muda dan cantik ini adalah anaknya sendiri. Kembaran Irewa. Dia tampak lebih bersih dan segar.

Jingi pun kemudian berpelukan dengan mama dan saudara kembarnya itu. Kehidupan Jingi dan Irewa sangat berbeda. Jingi mendapat pendidikan bahkan tak ada kekusahan yang ia alami. Irewa selalu mengalami kehidupan yang sangat memprihatingkan bahkan Irewa harus menderita dengan perlakuan suaminya yang sama sekali tidak ia cintai dan memperlakukannya dengan tidak adil.

Nestapa Irewa kurang lengkap berkat ulah Malom yang gemar berkunjung ke pelacuran. Banyak perempuan terjangkit penyakit kelamin lantaran suaminya kerap “jajan” dari Malom inilah Irewa menemui sial karena terjangkit penyakit sifilis. Demikian juga dengan banyak wanita. Sejak itu, Irewa merasa terpanggil memasuki dunia aktivisme untuk mengentaskan perempuan Papua dari penderitaan dan ketidaktahuan.

Penyakit kelamin makin berkembang di bumi ini. Dunia mengenal penyakit baru bernama HIV-AIDS. Penyakit ini melakukan perjalanan ke berbagai Negara. Sampai ke Indonesia. Sampai ke pulau Papua.

Malom masih tetap dengan sifatnya yang dulu. Senang pergi ke “kota” Distrik Yar. Agaknya ia sudah merasa senang. Ia punya lingkaran pergaulan yang disukai. Tapi ia tetap membutuhkan tempat untuk tidur dan makan. Karena itu ia tetap pulang ke rumahnya yang jauh dari “kota”. Watak Malom masih buruk. Ia tetap kasar memperlakukan Irewa. Kalau punya keinginan harus dipenuhi.

Malom tak bekerja. Kalau ia menjual tanah, uang itu dipakainya untuk dirinya sendiri. Jadi Irewa yang harus memikirkan semua kebutuhan keluarga. Suatu hari ada pendatang dari lain perkampungan mencari-cari rumah yang bisa dijual. Malom tadinya tidak punya pikiran untuk menjual rumah. Tapi, mendengar hal itu ia tertarik. Ia berfikir, kalau saja pindah ke pusat “kota” distrik, maka ia tak harus pulang ke rumahnya yang jauh itu. Irewa sebetulnya merasa lebih tenang tinggal ditempatnya yang lama walau harus ia berjalan jauh untuk berdagang di pasar di tengah “kota” Distrik Yar. Tapi, ia lalu berfikir lagi tentang sekolah anak-anaknya.

Setelah mereka sekeluarga pindah, irewa langsung mencarikan sekolah baru bagi mereka. Irewa sendiri juga lebih dekat kalau akan melakukan kegiatan-kegiatannya.

Distrik Yar punya camat atau kepala distrik baru. Camat lama baru saja diganti karena terbukti melakukan korupsi. Penggantinya seorang perempuan, ibu Selvi Warobay. Dari seorang warganya, Ibu Selvi mendengar tentang kegiatan yang dilakukan oleh Irewa. Ibu Selvi juga merasa cemas dengan adanya penyakit ini di wilayah yang menjadi tempat kerjanya. Suatu hari ia memanggil Irewa dan membicarakan hal itu. Irewa pun mengajak Jingi saudaranya untuk bersama mambantunya.

Ibu Selvi bercerita ia  baru saja pulang  dari pemakaman bayi laki-laki penderita HIV-AIDS umur dua tahun. Ia tertular dari ibunya. Irewa sedih mendengar cerita itu. Irewa menceritakan pengalamannya sendiri bahwa ia dulu juga pernah terkena penyakit sifilis. Sama dengan dirinya, banyak perempuan dipedalaman yang tak tahu-menahu soal penyakit itu.

Pembicaraan dari soal penyakit telah berpindah ke soal perempuan. Lalu berpindah ke masalah anak kecil yatim piatu. Irewa lalu menceritakan tentang anaknya yang masih remaja dulu pernah melakukan hubungan seksual dengan pelacur. Irewa menceritakan hal itu lebih lanjut lagi.

Jingi sudah tiba di Belanda. Mama Karolin tinggal di Maastricht, sebuah kota kecil yang berbatasan dengan negeri Jerman dan Belgia. Jingi mantap memperdalam ilmu kedokteran karena dari dosennya di Manado dan bacaan sejarah.

Kalau Jingi kuliah lagi alasanya bukan itu. Tapi ia memang sudah sejak kecil menyukai ilmu kedokteran dan ia ingin terus menerus mempelajari ilmu ini.

Meage sudah sekitar dua belas tahun di Jerman. Ia sudah mengerti lebih banyak lagi. Suster Karolin, Dokter Leon, mama Lea mereka saling bersahabat. Mereka saling kabar tentang Meage dan kini tentang Jingi. Suster Karolin tahu, Jingi membutuhkan teman dari Indonesia yang ia kenal untuk menyesuaikan diri dengan hal-hal baru di Belanda. Ia lalu menghubungkan Jingi dengan Meage.

Jingi kaget ia tak menyangka Meage di jerman bersama dokter Leon dan mama Lea. Dulu waktu Jingi menyampaikan salam Meage untuk mama Wawuntu karena Jingi pernah bertemu dengan Meage sebelumnya. Mama Wawuntu lalu menceritakan tentang Meage yang diangkat anak oleh  bapa Leon dan mama Lea. Setelah itu, ia tak punya informasi lain lagi.

Jingi sangat gembira ketika pertama kalii bisa bicara melalui telepon dengan Meage. Ia dan Meage pun saling bertanya dan bercerita. Jingi juga menceritakan tentang Irewa saudara kembarnya itu. Dada Meage selalu saja berdesir setiap kali nama itu disebutkan. Jingi terus bercerita. Tentang kegiatan terakir yang mereka lakukan bersama-sama. Yakni memberi tahu hal-hal kesehatan para perempuan di kampung-kampung.

Meage memasang telingannya dengan sebaik-baiknya atas cerita tentang Irewa. Ia memang ingin tahu banyak. Ia senang Jingi menjelaskan semua itu. Ada yang terasa sejuk di dada Meage mengetahui Irewa baik-baik saja. Jingi merasa tidak sendirian lagi di Negara asing itu.

Hari-hari awal kuliah dilalui Jingi dengan cukup baik. Jingi sibuk. Kuliah cukup berat. Meski begitu ia tetap berkomunikasi dengan Irewa lewat e-mail. Ada kebutuhan dalam dirinya untuk terus mengikat komunikasi dengan Irewa. Ada yang terasa kurang kalau tidak. Terakhir, Irewa cerita tentang ruang baru bernama ruang Marya di Distrik Yar.

Ruang Marya adalah ruang baru yang dibangun di kantor distrik. Ibu Selvi dan Irewa memberi nama itu setelah lama tak menemukan nama yang dirasa cocok. Marya dalam bahasa daerah berarti busur. Mereka berdua ingin agar ruang itu menjadi busur dan panahnya adalah perempuan. Busur dan anak panah akan dipakai untuk membunuh hal-hal buruk. Hal-hal bodoh. Ibu Selvi dan Irewa mengajak para perempuan membunuh hal-hal yang tak baik.

Ruang Marya juga dipakai untuk kegiatan lainnya. Tempat baru bagi para perempuan untuk berbicara satu sama yang lain. Banyak perempuan dari kampung-kampung yang berbeda datang ke situ.

Saat liburan akhir tahun tiba, keluarga Dokter Leon mengundang suster Karolin ke Duria. Jingi senang menikmati alam pedesaan. Saat berdua hanya dengan Meage. Jingi menceritakan perkembangann Irewa. Tentang ruang Marya yang menjadi tempat Irewa bisa bertemu dengan banyak perempuan lain.

Sebetulnya antara Meage dan Irewa bisa saja melakukan hubungan langsung. Mereka berdua sama-sama sudah lancar menggunakan sarana komunikasi yang ada. Baik e-mail atau pun telepon. Tetapi mereka berdua tidak melakukan hal itu. Meage dan Irewa sama-sama tidak punya keinginan untuk berhubungan langsung.

Berapa bulan setelah Jingi tiba di Belanda tahun lalu, ada perubahan besar di Indonesia. Soeharto menyatakan diri mundur sebagai presiden. Diganti presiden Habibie. Kini, situasi jadi berbeda. Buku-buku yang dulu dianggap terlarang, sudah bisa dibaca masyarakat. Penerbit tidak taku lagi mencetaknya. Beberapa orang yang bergerak dibidang kesenian di Papua ingat akan Meage. Mereka mencari dan akhirnya ada yang  tahu dan bisa menghubungi Meage. Kelompok ini menamakan diri kelompok Pecinta Seni Papua. Mereka ingin menerbitkan catatan-catatan Meage.

Meage memang masih menyimpannya dengan baik. Ia menganggap itu adalah harta miliknya yang sangat berharga. Sebuah penerbit di Anjaya menerbitkannya. Setelah beberapa persiapan lainnya, buku itu akhirnya bisa terbit. Sebuah buku yang sederhana saja.

Seperti biasa, sore itu Irewa datang ke kantor distrik dan langsung menuju Ruang Marya. Di mejanya ia melihat sebuah surat dan buku. Ada namanya tertera disitu. Ia heran. Dibukanya dengan cepat. Lalu i abaca surat di dalamnya. Ia baca penjelasan penerbit dari buku tersebut. Irewa jadi tahu itu pemberian langsung dari Meage untuknya, Irewa mendekat buku itu ke dadanya. Buku itu seperti Meage baginya.

Irewa membaca buku itu dengan baik. Kebetulan belum ada yang datang ke ruang itu. Hanya ia seorang diri. Irewa membuka halamannya tapi pikirannya belum bisa memusat ke isi buku, masih memikirkan Meage. Ia berusaha buang jauh-jauh pikiran itu.

Irewa juga menceritakan pada Jingi lewat e-mail bahwa buku itu kan dipakai sebagai bahan kegiatan baru di ruang Marya. Malam berikutnya, Irewa menerima balasan Jingi. Jingi ikut senang. Ia mendukung sekali apa yang irewa rencanakan.

Di bagiaan lain, Jingi mencritakan tentang teman-teman laki-lakinya di Maastrict, ada yang bernama ini, itu. Kelakuannya begini, begitu. Perasaan Jingi begini  begitu. Ada yang merupakan temannya di universitas. Ada yang merupakan temann pergaulan dilingkaran lain. Irewa membaca semuanya baik-baik. Sesampai di rumah, Irewa mulai memikirkan tentang Jingi, saudara kembarnya itu. Anak-anaknya sudah besar bahkan ada juga yang sudah memiliki anak juga. Tapi Jingi belum menikah. Irewa berpikir dan berpikir. Lalu Irewa mempunyai sebuah pikiran. Ia membayangkan barangkali ada baiknya kalau Jingi menikah dengan Meage. Pada waktu yang berbeda, setelah menimbang dengan sangat matang, akhirnya Irewa memutuskan untuk menyampaikan keinginannya pada Jingi.

Jingi yang baru selesai  jalan-jalan di luar kemudian pulang dan membuka laptopnya. Membuka e-mailnya. Ia membaca permintaan Irewa itu. Ia kaget. Jingi tak pernah punya pikiran seperti itu. Sama sekali. Selama ini ia menganggap bahwa Meage adalah kakak. Saudara.

Suatu hari ada sebuah karnaval besar yang diadakan di Belanda.  Sebuah agenda rutin tahunan. Meage kurang begitu suka dengan karnaval karena ia pernah melihat sebelumnya tetapi ini adalah kali pertama bagi Jingi melihat acara itu. Jingi menghubungi Meage melalui telepon. Ia mengundang Meage datang. Mama Lea juga mendorong Meage untuk datang. Meage memenuhi ajakan itu.

Jingi dan Meage bertemu. Meage bilang pada Jingi, “kalau kamu mau, kamu bisa berpakaian yang aneh-aneh. Juga berdandang yang aneh-aneh, Jingi”, katanya memberi tahu karena manusia bisa tampil seperti apa saja sesukanya saat karnaval. “Aku ingin menonton saja, kakak” kata Jingi.

Mereka kemudian naik sepeda berdua. Meage memakai sepeda yang biasa dipakai Mama Karolin. Karnaval sudah mulai dan sangat ramai. Jingi dan Meage tampak menikmati. Di Indonesia juga ada seperti ini. Biasanya diselenggarakan menjelang 17 Agustus. Juga sama sangat meriah.

Boneka raksasa penanda karnaval akan diturungkan dari tiang. Menandai acara selesai. Jingi dan Meage datang ke pusat keramaian. Malam gelap. Music keras. Dunia anak-anak muda. Ada yang bergoyang mengikuti irama music. Segelas bir ditangan. Jingi juga ikut menggerak-gerakan badannya. Dadanya merasakan kegembiraan meluap. Malam semakin malam. Udara semakin dingin. Anak-anak  muda yang datang bersama pasangan yang dicintainya memeluk pasangannya masing-masing. Mula-mula Jingi menggandeng lengan Meage. Hangat. Jingi merasa lebih nyaman. Lama-lama ia sandarkan kepalanya di pundak Meage. Badan Meage kokoh. Jingi kini menghadap ke Meage. Kedua tangannya memeluk tubuh Meage dari depan. Kepalannya menyandar di dada Meage.  Jingi merangkulkan kedua tangannya ke leher Meage. Ia menatap Meage. Tiba-tiba Jingi mencium bibir Meage. Setelah ciuman itu Jingi kaget seperti baru tersadar. Meage diam saja. Mereka pun pulang. Sesampai di rumah, mereka berdua hanya saling mengucapkan “selamat istirahat”. Lalu menuju ke kamar masing-masing.

Setelah malam itu, Jingi tak lagi menghubungi Meage. Ia menyibukkan dirinya dengan urusan universitas dan kegiatan lainnya. Irewa masih mengabarkan padanya tentang kegiatan di ruang Marya. Sesekali Irewa masih menyinggung tentang Meage. Ia tetap mendorong Jingi untuk menikah dengan Meage, Irewa merasa kasihan, Meage belum menikah. Ia rela, Meage menjadi suami Jingi. Irewa mengatakan pada Jingi, ia menyayangi Jingi.

“Menikahlah kau dengannya, Jingi,” kata Irewa dalam suratnya ke Jingi. Tulus. Jingi selalu tak mampu membalas bagian yang berisi saran itu. Hatinya merasa pedih setiap kali Irewa menanyakan hal itu. Ia merasa bersalah pada Irewa. Ia merasa telah berkhianat kepada saudara kembarnya itu.

Meage sendirian di rumah. Bapa Leon dan Mama Lea ada acara makan malam bersama sahabat mereka. Meage duduk sendirian di sofa ruang keluarga. Dari tempat dudukya itu, ia bisa bebas memandang alam luar dan merasakan ada yang tidak benar atas hidupnya kini. Meage rasa, Duria bukan tempat yang cocok baginya. Tempatnya di Papua. Otot dan betisnya juga dibutuhkan disana. Ia rindu pulang ke Papua.

Meage termangu. Merasa tidak cocok berada di mana-mana. Badanya ada di Duria. Tapi pikirannya jauh di Papua. Tak bisa lepas dari itu. Apakah karena Irewa? Atau mama dan neneknya? Telinga Meage mendengar suara. Hanya sayup. Mama-mama Papua memanggil namanya.

Datang dari lembah-lembah terpencil Papua…

Dari kampung yang jauh di pedalaman…

Hari di Duria bergerak ke Gelap…

Meage menyalakan lampu di ruangan.

Ia juga ingin memberi terang matahari bagi jiwanya sendiri.

Matahari dan bulan itu bagaikan dua bersaudara. Matahari adalah anak laki-laki dan bulan adalah anak perempuan. Bulan datang pada malam hari. Ia mengerjakan tanah. Matahari datang pada siang hari. Ia menanam bibit. Dan bintang? Bintang adalah nama burung, mata kuskus, mata kodok, sedangkan yang cahaya cemerlang, itu mata manusia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Biografi Pengarang:

Dorothea Rosa Herliany adalah seorang penulis dan penyair perempuan Indonesia. Ia dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, 20 Oktober 1963. Setelah Dasar Tarakanita Magelang, Dorothea melanjutkan ke SMP Pendowo Magelang. Setelah itu Dorothea melanjutkan ke SMA Stella Duce Yogyakarta. Lulus dari SMA Dorothea meneruskan ke IKIP Sanata Dharma Yogyakarta. Ia pernah menjadi wartawan dan guru. Ia juga pernah menghadiri pertemuan sastrawan muda Asean di Filipina (1990) dan menjadi peserta dalam festival Puisi Indonesia di Jakarta dan Rotterdam, Negeri Belanda (1985).

Karya sastra yang sudah diterbitkan, antara lain Nyanyian Gaduh (kumpulan sajak, 1987), Matahari yang Mengalir (kumpulan sajak,1990), Kepompong Sunyi (kumpulan sajak, 1993), Pagelaran (kumpulan cerpen,1993), Guru Tarno (kumpulan cerpen 1994), Cerita dari Hutan Bakau (kumpulan sajak, 1994), Vibrasi Tiga Penyair (ap,1994), Blencong (kumpulan cerpen, 1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (kumpulan cerpen, 1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999). Dorothea juga adalah orang pertama yang memenangi kedua kategori Kusala Sastra Khatulistiwa, prosa dan puisi, dengan “Santa Rosa” (puisi) pada 2006 dan “Isinga” (prosa) pada 2015.

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAFTAR NAMA DOSEN PRODI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FKIP UNPATTI.

Contoh Skripsi (ANALISIS WACANA KRITIS MODEL NORMAN FAIRCLOUGH PADA TEKS FACEBOOK GRUP NEW PILAR SBT)

Contoh Skripsi (TINDAK TUTUR DIREKTIF PENJUAL DAN PEMBELI DALAM GRUP FACEBOOK KOBISONTA DAGANG)