Contoh Makalah (Laelani Kuhurima)

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang Masalah

Citraan adalah gambaran angan atau gambaran imajinasi pengarang. Citraan merujuk kepada pelukisan sesuatu hal yang merangsang penggunaan pancaindera, seperti penglihatan, penciuman, pendengaran, pencecapan, perasaan, perabaan, dan gerak. Dalam puisi, citraan digunakan untuk melukiskan suatu keadaan tertentu di mana pengarang berusaha memberitahukan apa yang ada dalam pikirannya yang bertujuan untuk memperkuat kesan puisi, sehingga ketika membaca puisi seakan-akan kita bisa melihat, mendengar, merasakan, mencium, dan meraba apa yang tertulis dalam puisi secara nyata. Penggunaan citraan di dalam puisi dengan maksud agar pembaca dapat memperoleh gambaran nyata tentang hal-hal yang ingin disampaikan oleh penyair.

Karya sastra yang dijadikan objek dalam penulisan ini adalah puisi. Salah satu kumpulan puisi yang memanfaatkan citraan sebagai penyampaian pesan yaitu kumpulan puisi “Sebilah Luka dari Negeri Malam” karya Roymon Lemosol. Kumpulan  puisi “Sebilah Luka dari Negeri Malam” karya Roymon Lemosol terbit pada tahun 2015 dengan jumlah halaman 59 dan berisi 43 puisi-puisi pilihan, yaitu sebagai berikut; Lagu Pilih Cengkih, Obsesi, Mencari Kejujuran, Gelap, Bertanya Mata pada Asap, Kita Adalah Hewan, Menguburkan Kenangan, Musim Pembantaian, Natsepa, Hujan Tengah Tahun, Mungkin, Aku dan Muridku, Anggur Perjamuan, Antara Pagi dan Petang, Musim Hujan, Nasib Sajak, Doa Seorang Pendosa, Papa, Belajar Kepada Lautan, Kepada Sahabat (3), Catatan Juli, Selepas Senja, Senja di  Jakarta, Tentang Seseorang yang Mati Malam Tadi, Hujan di Wonosari, Penokok Sagu, Ibu, Perempuan Terakhir, Secangkir Teh untuk Ayah, Guru Kepada Muridnya (1), Belajar Kepada Sungai, Cuci Tangan, Nanaku, di Bandara, di Ujung Kertas, Hutan Kota, Keluh, Kepada Kekasih, Khotbah, di Walang Sopi, Sebatang Rokok dan Suara Batuk, Sirimau, Luka dari Negeri Malam.

Pemilihan kumpulan puisi “Sebilah Luka dari Negeri Malam” karya Roymon Lemosol sebagai objek penulisan dilandasi beberapa alasan. Alasan tersebut antara lain; Pertama, dalam puisi-puisinya, penyair banyak menggunakan citraan untuk menggambarkan imajinasinya yang bertujuan untuk memberitahukan apa yang ada dalam pikirannya kepada para pembaca. Citraan yang digunakan antaralain citraan penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, pencecapan, citraan perasaan dan citraan gerak. Kedua, penyair tidak hanya menulis puisinya dengan bahasa Indonesia, tetapi juga dengan memasukkan banyak diksi-diksi bahasa daerah, seperti; gendong bakul tagalaya yang berarti sejenis anyaman terbuat dari rotan atau bambu untuk menaruh cengkih atau hasil alam lainnya; mungare-jujaro yang berarti pemuda-pemudi; pawela yang berarti berleha-leha; nanaku yang berarti memperkirakan sesuatu akan terjadi berdasarkan gejala yang muncul; ale yang berarti kamu; taure yang berarti terurai; walang yang berarti dangau/huma (gubuk/rumah kecil tempat orang berteduh untuk menjaga tanaman); sopi yang berarti minuman keras khas Maluku; natsepa yang berarti salah satu pantai yang indah di pulau Ambon; binaiya yang berarti gunung tertinggi di Maluku; sirimau yang berarti nama sebuah gunung di pulau Ambon; kamu-kamu yang berarti halimun/kabut; penipar yang berarti orang yang melakukan tipar (tipar adalah proses pembuatan sageru hingga menjadi sopi). Diksi-diksi bahasa daerah tersebut terdapat dalam puisi Lagu Pilih Cengkih, Nanaku, di Walang Sopi, dan Sirimau.

Penggunaan diksi-diksi bahasa daerah itulah yang menarik perhatian penulis untuk dijadikan objek penulisan. Selain menarik, penulisan atau analisis dengan memanfaatkan puisi-puisi yang menggunakan diksi bahasa daerah dalam kumpulan puisi “Sebilah Luka dari Negeri Malam” karya Roymon Lemosol belum penah diteliti sebelumnya. Dengan demikian, penulis akan menganalisis kumpulan puisi “Sebilah Luka dari Negeri Malam” karya Roymon Lemosol dengan menganalisis citraan dan memanfaatkan empat puisi yang menggunakan diksi bahasa daerah sebagai objek penulisan.

Penulisan ini akan menganalisis karya sastra khususnya citraan dengan menggunakan kajian struktural. Kajian struktural adalah kajian yang mengungkapkan keterkaitan semua unsur karya sastra sebagai satu kesatuan struktural yang menghasilkan makna menyeluruh, salah satunya citrraan yang merupakan unsur intrinsik dari puisi. Analisis struktur ini dilakukan terhadap citraan dalam puisi-puisi yang menggunakan diksi bahasa daerah pada kumpulan puisi “Sebilah Luka dari Negeri Malam” Karya Roymon Lemosol. Kajian struktural dapat mempermudah penulis dalam menganalisis puisi khususnya citraan.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis ingin melakukan penulisan dengan judul “Citraan dalam Kumpulan Puisi Sebilah Luka dari Negeri Malam Karya Roymon Lemosol”. Penulis memilih judul penulisan tersebut karena dirasa belum pernah sebelumnya dilakukan penulisan tentang citraan pada kumpulan puisi karya Roymon Lemosol khususnya dengan menggunakan puisi-puisi yang menggunakan diksi bahasa daerah sebagai objek penulisannya.

 

1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah citraan dalam kumpulan puisi “Sebilah Luka dari Negeri Malam” karya Roymon Lemosol?

 

1.3    Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan ini yaitu mendeskripsikan citraan dalam kumpulan puisi “Sebilah Luka dari Negeri Malam” karya Roymon Lemosol.

 

 

1.4    Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

 

1.4.1        Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang citraan dalam puisi.

 

1.4.2        Manfaat Praktis

Secara praktis, diharapkan penulisan ini dapat bermanfaat, yaitu:

1.    Bagi mahasiswa, penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan baru tentang citraan puisi khususnya bagi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mahasiswa juga dapat menenerapkan pengetahuan yang telah didapat untuk melakukan penulisan bahkan penelitian yang sejenis.

2.    Bagi penulis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan acuan bagi penulis untuk menjadi bahan referensi yang relevan tentang citraan dalam puisi.

3.    Bagi pembaca, penulisan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada pembaca tentang citraan dalam puisi.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1    Pengertian Puisi

     Ahmad (dalam Imron & Nugrahani, 2017:50) mengungkapkan bahwa puisi mengandung unsur-unsur emosi, imajinasi, pemikiran/ide, nada, irama, citraan, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur baur.

     Menurut Pradopo (2014:7) puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi pancaindra dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan.

     Dari beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa puisi adalah mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi pancaindra dalam susunan yang berirama.

 

 

 

 

2.2    Struktur Puisi

2.2.1        Struktur Fisik Puisi

Adapun unsur-unsur yang membangun sebuah puisi menurut Richards (dalam Imron & Nugrahani, 2017:51) terdiri atas metode dan hakikat, untuk menggantikan  istilah  bentuk  dan  isi  puisi,  atau  struktur  fisik  dan struktur batin puisi. Struktur fisik puisi terdiri atas:

A.           Diksi

Diksi berasal dari bahasa latin dicere, dictum yang berarti to say. Diksi berarti pemilihan dan penyusunan kata-kata dalam tuturan atau penulisan (Scott, dalam Imron & Nugrahani, 2017:52).

Diksi atau pilihan kata adalah kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide yang meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan.

Dengan demikian diksi bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata mana yang perlu dipakai untuk mengungkapkan suatu gagasan, tetapi juga meliputi gaya bahasa, ungkapan-ungkapan dan sebagainya.

B.            Pengimajian/Citraan (imagery)

Citraan (imagery) berasal dari bahasa Latin imago (image). Citraan merupakan kumpulan citra yang digunakan untuk melukiskan objek dan tanggapan indera yang digunakan dalam karya sastra (Abrams, dalam Imron & Nugrahani, 2017:57).

Citraan merupakan penggambaran angan-angan dalam karya sastra. Penggambaran angan-angan tersebut untuk menimbulkan suasana yang khusus; membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan serta untuk menarik perhatian pembaca.

C.            Bahasa Kiasan

Figuratif berasal dari bahasa Inggris figurative, yang berasal dari bahasa latin figura, yang berarti form, shape. Figura berasal dari kata fingere dengan arti to fashion. Bahasa kias pada dasarnya digunakan oleh sastrawan untuk memperoleh dan menciptakan citraan. Adanya bahasa kias menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran hidup, dan menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kias ini mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan lebih hidup.

Menurut Altenbernd         (dalam Pradopo 2014:63) bahasa figuratif terdiri atas perbandingan/majas, metafora, perumpamaan epos, allegori, personifikasi, metonomia, dan sinekdoki.

 

 

 

 

 

D.           Rima dan Irama

Rima adalah persamaan bunyi pada akhir kata. Bunyi itu berulang-ulang secara terpola dan biasanya terdapat pada akhir baris puisi tetapi kadang-kadang terdapat pula di tengah dan awal baris.

Irama adalah bunyi yang menetaskan unsur musikalisasi puisi. Irama puisi identik dengan intinasi yakni penempatan tekanan tertentu pada kata. Dalam (pembacaan) puisi hal itu memegang peran dominan. Bunyi yang tinggi-rendah, keras-lembut, dan cepat-lambat menjadikan puisi terdengar/terkesan merdu dan indah dibaca.

 

2.2.2        Struktur Batin Puisi

Rokhmansyah (2014: 26) mengatakan bahwa struktur batin puisi merupakan wacana teks puisi secara utuh yang mengandung arti atau makna yang hanya dapat dilihat atau dirasakan melalui penghayatan. Tanpa adanya sebuah penghayatan, unsur-unsur puisi yang membangun dari dalam tidak dapat dipahami secara benar. Unsur batin puisi yaitu sebagai berikut:

A.  Tema

Tema adalah ide dasar dan pusat pembicaraan dalam sebuah puisi. Tema yang merupakan gagasan utama yang menjadi esensi sebuah karya sastra itu berperan penting dalam penciptaan dan penyusunan karya sastra.

Dengan demikian, tema menjadi dasar bagi penyair untuk mengekspresikan hasil kreasi atas refleksinya terhadap lingkungan kehidupannya dalam karyanya.

B.  Amanat

Amanat merupakan pesan moral yang dapat dipetik dari sebuah karya sastra. Seperti pada genre karya satra lainnya, pada umumnya amanat dalam karya puisi bersifat implisit atau tersirat. Tugas pembacanya untuk mengeksplisitkan amanat yang tersembunyi dalam karya puisi tersebut dengan mengerahkan daya pemikiran dan kontemplasinya. Kumpulan dari amanat dalam puisi itulah yang kemudian sering membentuk tema.

C.  Perasaan

Dalam puisi muncul adanya perasaan tertentu yang timbul sebagai efek dari adanya pemanfaatan diksi, rima dan irama, citraan, dan majas tertentu. Perasaan gembira atau sedih, suka atau duka, gamang, bimbang, putus asa dan sebagainya. Dapat pula dalam karya puisi terkandung perasaan protes, marah jengkel, perlawanan, resistensi terhadap persoalan tertentu dalam realitas kehidupan. Namun, dalam puisi terkadang juga terdapat perasaan tentram, tenang, dekat, dan bahagia, karena peristiwa atau dekat dengan Tuhan, dan sebagainya.

 

 

Tentu saja perasaan dalam karya puisi tersebut sangat bergantung pada suasana batin sang penyair ketika melahirkan karya puisinya. Suasana batin sang penyair pada umumnya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di lingkungan sosialnya, di samping pandangan hidup, falsafat hidup yang dianutnya, ideologi dan aliran politik , dan sebagainya.

D.  Nada

Sebagai efek dari pemanfaatan media ekspresi tertentu dalam puisi seperti adanya rima dan irama, diksi, majas, atau citraan tertentu, timbulah nada dan suasana tertentu dalam puisi.

Dapat dikatakan bahwa perasaan atau suasana dalam puisi merupakan roh yang menjiwai nada puisi. Artinya, perasaan dan suasana tertentu dalam puisi akan menimbulkan nada tertentu pula. Suasana bahagia dalam puisi akan melahirkan nada gembira. Sebaliknya perasaan atau suasana nestapa akan melahirkan nada sedih dalam karya puisi. Oleh karena itu, kedua unsur tersebut, nada dan suasana sering dipasangkan menjadi satu.

 

 

 

 

 

 

2.3    Citraan dalam Puisi

Citraan (imagery) berasal dari bahasa Latin imago (image) dengan bentuk verbanya imitari (to imitate). Citraan merupakan kumpulan citra yang digunakan untuk melukiskan objek dan kualitas tanggapan indera yang digunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah maupun secara kias (Abrams, dalam Imron & Nugrahani 2017:57)

Menurut Sayuti (dalam Imron & Nugrahani 2017:57), citraan dapat diartikan sebagai kata atau serangkaian kata yang dapat membentuk gambaran mental atau dapat membangkitkan pengalaman  tertentu.

Coombes (dalam Pradopo, 2014:81) mengemukakan bahwa dalam tangan seorang penyair yang bagus, imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahannya untuk mengintensifkan, menjernihkan, memperkaya; sebuah imaji yang berhasil menolong orang merasakan pengalaman penulis terhadap objek dan situasi yang dialaminya, memberi gambaran yang setepatnya, hidup, kuat, ekonomis, dan segera dapat kita rasakan dan dekat dengan hidup kita sendiri.

Citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Sastrawan tidak hanya pencipta musik verbal, tetapi juga pencipta gambaran dalam kata-kata untuk mendeskripsikan sesuatu sehingga pembaca dapat melihat, merasakan, dan mendengarnya (Scott, dalam Imron & Nugrahani 2017:57).

Cuddon (dalam Imron & Nugrahani 2017:58) menjelaskan bahwa citraan meliputi penggunaan bahasa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, dan setiap pengalaman indera yang istimewa.

Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan dan juga untuk menarik perhatian, penyair menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran), di samping alat kepuitisan yang lain. Gambaran-gambaran angan dalam sajak itu disebut citraan (imagery). Gambaran angan ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata dan daerah-daerah otak yang berhubungan.

Citraan biasanya lebih mengingatkan kembali daripada membuat baru kesan pikiran, sehingga pembaca terlihat dalam kreasi puitis (Altenbernd, dalam Pradopo, 2014: 82). Pembaca akan mudah menanggapi hal-hal yang dalam pengalamannya telah tersedia simpanan imaji-imaji yang kaya.

 

 

 

 

 

 

 

2.3.1        Jenis-jenis Citraan

Citraan dapat dibagi menjadi tujuh jenis yakni: citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan perabaan, citraan penciuman, citraan pencecapan, dan citraan gerak (Sayuti 2002:170).

1.    Citraan Penglihatan yaitu citraan yang ditimbulkan oleh indera penglihatan (mata). Citraan ini sapat memberikan rangsangan kepada mata sehingga seolah-olah dapat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak terlihat. Dalam karya sastra, selain pelukisan karaklter tokoh cerita, citraan   penglihatan   ini   juga   sangat   produktif   dipakai   oleh pengarang untuk melukiskan keadaan, tempat, pemandangan, atau bangunan, misalnya (Imron & Nugrahani, 2017:58)

2.    Citraan Pendengaran yaitu citraan yang ditimbulkan oleh indera pendengaran (telinga). Citraan ini dapat memberikan rangsangan kepada telinga sehingga seolah-olah dapat mendengar sesuatu yang diungkapkan melalui citraan tersebut. Citraan pendengaran dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara (Altenbernd, dalam Pradopo 2014:83). Berbagai peristiwa dan pengalaman hidup yang berkaitan dengan pendengaran yang tersimpan dalam memori pembaca akan mudah bangkit dengan adanya citraan audio (Imron & Nugrahani 2017:58)

 

3.    Citraan Perabaan yaitu citraan yang melibatkan indera peraba (kulit). Misalnya kasar, lembut, halus, basah, panas, dingin, dan lain-lain. Citraan perabaan terkadang dipakai untuk melukiskan keadaan emosional tokoh, misalnya. Biasanya citraan perabaan digunakan untuk lebih menghidupkan imaji pembaca dalam memahami teks karya sastra sehingga timbul efek estetis (Imron & Nugrahani, 2017:59).

4.    Citraan Penciuman yaitu citraan yang berhubungan dengan indera penciuman (hidung). Citraan penciuman dipakai sastrawan untuk membangkitkan imaji pembaca dalam hal memperoleh pemahaman   yang utuh atas teks sastra yang dibacanya melalui indera penciumannya (Imron & Nugrahani, 2017:59). Kata-kata yang mengandung citraan ini menggambarkan seolah-olah objek yang dibicarakan berbau harum, busuk, anyir, dan lain-lain.

5.    Citraan Pencecapan yaitu citraan yang melibatkan indera pencecap (lidah). Melalui citraan ini seolah-olah kita dapat merasakan sesuatu yang panit, asam, manis, kecut, dan lain-lain. Dengan citraan ini pembaca akan lebih  mudah  membayangkan  bagaimana  rasa  sesuatu,  makanan atau minuman misalnya yang diperoleh melalui lidah (Imron & Nugrahani, 2017:60).

6.    Citraan Perasaan yaitu citraan yang melibatkan hati (perasaan). Citraan ini membantu kita dalam menghayati suatu objek atau kejadian yang melibatkan perasaan.

7.     Citraan Gerak yaitu citraan yang secara konkret tidak bergerak, tetapi secara abstrak objek tersebut bergerak. Citraan gerak menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya (Pradopo, 2014:88).

 

2.4    Kajian Struktural

Kajian struktural yang menjadi acuan untuk penulis gunakan dalam menganalisis citraan dalam puisi yaitu kajian struktural menurut Imelda Olivia Wisang (2014).

Pradopo (1993: 120-123) mengatakan puisi adalah struktur (tanda-tanda) yang bermakna. Dalam pengertian bahwa struktur puisi terdiri dari unsur-unsur yang tertata (terstruktur). Tiap-tiap unsur itu hanya mempunyai makna dalam kaitannya dengan unsur-unsur lain dalam struktur itu dan keseluruhannya.

Analisis struktural adalah analisis puisi ke dalam unsur-unsur dan fungsinya, dan penguraiannya bahwa tiap-tiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur lainnya.

Teori struktural disebut juga teori objektif, melihat puisi dari unsur intrinsik, keterkaitan antarunsur untuk menghasilkan makna yang menyeluruh. Yang dipecahkan dalam teori objektif adalah apa yang ada dalam karya tersebut seperti citra bahasa, stilistika, dan aspek-aspek lain yang berfungsi menimbulkan kualitas estetis.

Analisis struktural pada dasarnya bertujuan untuk memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.

 

2.5    Citraan dalam Kumpulan Puisi Sebilah Luka dari Negeri Malam’’ Karya Roymon Lemosol

Dalam kumpulan puisi “Sebilah Luka dari Negeri Malam’’ Karya Roymon Lemosol, penyair menggunakan citraan sebagai alat penyampaian pesan kepada pembaca untuk menggambarkan imajinasinya yang bertujuan untuk memberitahukan apa yamg ada dalam pikirannya kepada para pembaca sehingga pembaca seolah bisa melihat, merasakan dan melakukan apa yang digambarkan dalam puisi lewat pancaindera.

Penulis menganalisis citraan terhadap empat puisi yang menggunakan diksi bahasa daerah dan analisis dilakukan per bait puisi. Keempat puisi tersebut adalah Lagu Pilih Cengkih, Nanaku, di Walang Sopi, dan puisi Sirimau.

Analisis terhadap citraan tidak dapat terlepas kaitannya dengan unsur-unsur puisi lainnya dalam struktur fisik dan struktur batin puisi, seperti majas, diksi, rima, dan sebagainya. Keadaan yang kontradiktif dan keseluruhan makna pada sebuah sajak juga dianalisis mengingat hal itulah yang menjadi latar belakang seorang penyair menulis puisi-puisinya.

Berikut ini penulis lampirkan teks keempat puisi tersebut:

 

1.      Lagu Pilih Cengkih

 

lama tak kudengar senandung lagu pilih cengkih

mengalun dari bukit-bukit hijau di tanah seribu pulau

dari dahan-dahan cengkih yang kini lunglai dijerat benalu

 

lama tak kunikmati senda-gurau mungare-jujaro

gendong  bakul tagalaya, pawela di bawah

pohon-pohon cengkih

yang kini memar ditonjok belukar

 

lama sekali

sejak angin gunung tak mau lagi menyebar wangi

bunga cengkih

pada kumbang yang banyak mereguk laba

dari jatuhnya harga

 

 

 

 

 

 

2.      Nanaku

 

beta sudah nanaku

sabankali baku dapa

kalau ale punya rambut sudah taure

banyak kutu akan merayap

hinggap di kepala mungare-jujaro

mereka birahi

lalu melahirkan kata-kata

yang diberi nama puisi

 

3.      di Walang Sopi

 

entah siapa yang memulai

tiba-tiba mereka tuangkan ayat-ayat suci

ke dalam sebotol sopi

diteguk

dikumur

ditelan

lalu memuntahkan riwayat

tentang nabi nuh dan bahteranya

kandas di gunung binaiya

 

4.      Sirimau

 

sepeninggal terik

senja mengalungkan seuntai kamu-kamu

ke jenjang lehernya

malam luruh perlahan lewat jalan-jalan setapak

mengikuti jejak para penipar pulang ke perkampungan

 

angin mengelus lembut dedaunan

bisikkan harapan pada risau dahan-dahan

takkan hutan kehilangan sejuk

sebab tempayan di bawah sana

tetap setia memberi minum akar-akar

 

apa arti setahun kemarau

bagi air yang berabad-abad memelihara bening

ia adalah cermin bagi musim yang sesekali

lupa pada muasal

bahwa sejarah takkan pernah berubah

bila kita tak serakah membelokkan arahnya

 

hutan tetaplah hutan

takkan boleh berubah jadi hantu

2.5.1   Citraan dalam Sajak “Lagu Pilih Cengkih”

 

A.      Bait 1

lama tak kudengar senandung lagu pilih cengkih

mengalun dari bukit-bukit hijau di tanah seribu pulau

dari dahan-dahan cengkih yang kini lunglai dijerat benalu

 

Pada bait pertama terdapat citraan pendengaran yaitu, lama tak kudengar senandung lagu pilih cengkih/mengalun dari bukit-bukit hijau/dari dahan-dahan cengkih. Seolah-olah pembaca dapat mendengar naynyian yang merdu. Terdapat juga citraan penglihatan yaitu, di tanah seribu pulau/ yang kini lunglai dijerat benalu. Seolah-olah pembaca dapat melihat sebuah tempat atau daerah yang disebut tanah seribu pulau dan dapat melihat sesuatu yang terlihat lemah akibat dijerat benalu.

Penyair juga merangsang pancaindera pembaca dengan memanfaatkan kata konkret dan majas. Kata konkret merangsang pancaindera bahwa kata-kata itu memiliki makna atau acuan yang bisa dirasakan, berwujud, benar-benar ada, dan nyata. Kata konkret yang muncul dalam bait ini adalah bukit-bukit hijau dan dahan-dahan cengkih, seolah-olah pembaca dapat melihat secara nyata pemandangan bukit-bukit hijau serta dahan dari pohon cengkih.

Majas yang muncul yaitu majas personifikasi, mengalun dari bukit-bukit hijau/dari dahan-dahan cengkih. Di mana seolah-olah bukit-bukit hijau dan dahan-dahan cengkih itu bisa bersenandung atau mengeluarkan suara atau nyanyian yang merdu dan lembut.

 

B.       Bait 2

lama tak kunikmati senda-gurau mungare-jujaro

gendong  bakul tagalaya, pawela di bawah

pohon-pohon cengkih

yang kini memar ditonjok belukar

 

Pada bait kedua terdapat citraan pendengaran yaitu, lama tak kunikmati senda-gurau mungare-jujaro/gendong bakul tagalaya, pawela di bawah/pohon-pohon cengkih. Seolah-olah pembaca dapat mendengar pemuda-pemudi bergurau/bercanda di bawah pohon cengkih. Terdapat juga citraan penglihatan yaitu, yang kini memar ditonjok belukar. Pembaca juga dirangsang indera penglihatannya seolah-olah dapat melihat luka akibat terkena belukar. Selain itu, kata memar juga dapat digolongkan sebagai citraan perabaan jika diartikan sebagai sebuah luka pada tubuh yang tidak tampak dari luar tetapi dapat dirasakan dibagian dalam.

 

Kata konkret yang muncul dalam bait ini adalah bakul tagalaya dan pohon-pohon cengkih, seolah-olah pembaca dapat melihat secara nyata sebuah bakul yang terbuat dari rotan atau bambu untuk menaruh hasil alam atau yang lain, serta dapat melihat pemandangan pohon-pohon cengkih.

 

C.       Bait 3

lama sekali

sejak angin gunung tak mau lagi menyebar wangi

bunga cengkih

pada kumbang yang banyak mereguk laba

dari jatuhnya harga

 

Pada bait ketiga terdapat citraan penciuman yaitu, lama sekali/sejak angin gunung tak mau lagi menyebar wangi/bunga cengkih. Seolah-olah pembaca dapat mencium aroma bunga cengkih yang disebar oleh angin dari gunung tempat pohon-pohon cengkih bertumbuh. Terdapat juga citraan penglihatan yaitu, pada kumbang yang banyak mereguk laba/dari jatuhnya harga. Seolah-olah pembaca dapat melihat kumbang atau serangga yang mengambil banyak keuntungan dari tumbuhan, hewan dan sebagainya.

Kata konkret yang muncul dalam bait ini adalah bunga cengkih, seolah-olah pembaca dapat melihat secara nyata pemandangan bunga-bunga cengkih yang menyebar wangi harum.

Penyair juga menggunakan majas metafora yaitu, pada kumbang yang banyak mereguk laba. Kumbang di sini bukan dengan maksud sebenarnya yaitu serangga besar berwarna hitam mengkilat melainkan orang-orang serakah yang mengambil keuntungan dari pohon-pohon cengkih.

 

Dapat disimpulkan bahwa pada sajak “Lagu Pilih Cengkih”, penyair menggunakan citraan, majas personifikasi dan majas metafora, serta diksi yang menimbulkan keadaan yang kontradiktif atau menyatakan keterbalikan/berlawanan yang menyatakan bahwa dibalik indahnya pemandangan dan wanginya pohon-pohon cengkih, dan dibalik senda gurau pemuda-pemudi di bawah pohon cengkih itu terdapat kesedihan di dalamnya yang mungkin merupakan ratapan penyair pada keadaan alam di kampungnya sekarang, di mana karena keserakahan manusia yang mencoba mengambil keuntungan dari pohon-pohon cengkih tersebut memberikan kerugian bagi warga sekitar yang menjadikannya sebagai tempat mencari pundi-pundi rupiah demi melanjutkan hidup di kampung.

 

 

2.5.2   Citraan dalam Sajak “Nanaku”

 

beta sudah nanaku

sabankali baku dapa

kalau ale punya rambut sudah taure

banyak kutu akan merayap

hinggap di kepala mungare-jujaro

mereka birahi

lalu melahirkan kata-kata

yang diberi nama puisi

 

Pada sajak “Nanaku” terdapat citraan penglihatan yaitu, beta sudah nanaku/sabankali baku dapa/kalau ale punya rambut sudah taure/banyak kutu akan merayap/hinggap di kepala mungare-jujaro.  Seolah-olah pembaca dapat melihat kutu yang merayap dan hinggap di kepala pemuda-pemudi yang rambutnya terurai. Terdapat juga citraan perasaan yaitu, mereka birahi/lalu melahirkan kata-kata/yang diberi nama puisi. Penyair merangsang indera perasa pembaca seolah-olah dapat merasakan perasaan cinta kasih antara dua orang yang berlawanan jenis.

 

 

Kata konkret yang muncul dalam sajak ini adalah rambut, kutu, dan kepala seolah-olah pembaca dapat melihat secara nyata terdapat banyak kutu pada rambut yang ada dikepala seseorang.

 

Dapat disimpulkan bahwa pada sajak “Nanaku”, penyair menggunakan diksi yang sangat sederhana dan mudah dipahami tetapi dibalik sederhananya diksi-diksi tersebut terdapat makna lain. Dapat dikatakan bahwa pada sajak ini penyair mencoba merangsang pembaca lewat citraan-citraan yang ada bahwa pada setiap pertemuan, seorang penyair akan memberikan ilmu-ilmunya tentang puisi kepada para pemuda-pemudi agar nantinya mereka bisa melahirkan atau membuat puisi-puisi baru yang lebih segar dan hidup.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.5.3   Citraan dalam Sajak “di Walang Sopi”

 

entah siapa yang memulai

tiba-tiba mereka tuangkan ayat-ayat suci

ke dalam sebotol sopi

diteguk

dikumur

ditelan

lalu memuntahkan riwayat

tentang nabi nuh dan bahteranya

kandas di gunung binaiya

 

Pada sajak “di Walang Sopi” terdapat citraan penglihatan yaitu, entah siapa yang memulai/tiba-tiba mereka tuangkan ayat-ayat suci/ke dalam sebotol sopi. Citraan penglihatan juga terdapat pada baris ketujuh sampai kesembilan yaitu, lalu memuntahkan riwayat/tentang nabi nuh dan bahteranya/kandas di gunung binaiya. Seolah-olah pembaca dapat melihat sekelompok orang menuangkan ayat-ayat suci ke dalam sebotol sopi. Penyair juga merangsang indera gerak dan pencecapan pembaca yaitu pada baris keempat, kelima, dan keenam yaitu, diteguk/dikumur/ditelan.

Di mana seolah-olah pembaca dapat menggerakan mulutnya untuk meneguk, berkumur, dan menelan. Tetapi pembaca juga seolah-olah dapat mencecap rasa atau merasi sesuatu yang diteguk dan ditelan itu.

Kata konkret yang muncul dalam bait ini adalah sebotol sopi dan gunung binaiya, seolah-olah pembaca dapat melihat secara nyata sopi yang diisi dalam sebuah botol dan dapat melihat pemandangan sebuah gunung di Maluku yang dinamai gunung binaiya.

Penyair juga menggunakan majas metafora yaitu terdapat pada baris kedua, tiba-tiba mereka tuangkan ayat-ayat suci dan pada baris ketujuh, lalu memuntahkan riwayat. Ayat-ayat suci yang dimaksud bukanlah makna/arti sebenarnya melainkan cerita-cerita dari orang-orang yang sedang duduk meminum sopi. Dilanjutkan pada baris ketujuh yaitu, lalu memuntahkan riwayat, yang makna sebenarnya yaitu dari hanya cerita-cerita biasa kemudian diperluas menjadi cerita tentang kisah-kisah hidup mereka. Karena pada kehidupan nyata di Maluku, jika orang-orang khususnya kaum adam sudah duduk membentuk lingkaran dan meminum sopi maka yang terjadi adalah saling menceritakan kisah hidup masing-masing bahkan sampai menyombongkan diri.

 

 

 

Dapat disimpulkan bahwa pada sajak “di Walang Sopi”, melalui penggunaan citraan, majas metafora, bahkan diksi yang sederhana, penyair mencoba menggambarkan sebuah keadaan di mana jika sekelompok orang sudah duduk dan ditengah-tengah mereka ada minuman keras, entah siapa yang mulai bercerita maka satu per satu dari mereka akan melanjutkan cerita tersebut dengan saling menceritakan kisah dan pengalaman hidup masing-masing.

 

2.5.4   Citraan dalam Sajak “Sirimau”

 

A.      Bait 1

sepeninggal terik

senja mengalungkan seuntai kamu-kamu

ke jenjang lehernya

malam luruh perlahan lewat jalan-jalan setapak

mengikuti jejak para penipar pulang ke perkampungan

 

Pada bait pertama terdapat citraan perabaan yaitu sepeninggal terik. Seolah-olah pembaca dapat merasakan terik atau panasanya matahari pada kulit. Terdapat juga citraan gerak yaitu, senja mengalungkan seuntai kamu-kamu/ke jenjang lehernya. Indera gerak pembaca dirangsang seolah-olah dapat menggerakkan tangan untuk memakaikan sesuatu pada leher. Yang terakhir yaitu citraan penglihatan, malam luruh perlahan lewat jalan-jalan setapak/mengikuti jejak para penipar pulang ke perkampungan. Seolah-olah pembaca dapat melihat orang-orang yang bekerja menipar sageru berjalan pulang masuk ke perkampungan mereka pada waktu yang semakin larut.

Penyair juga menggunakan majas personifikasi, yaitu pada bait kedua dan ketiga, senja mengalungkan seuntai kamu-kamu/ke jenjang lehernya. Di mana digambarkan bahwa seolah-olah senja adalah manusia yang dapat bergerak untuk memasangkan sesuatu pada leher.

 

B.       Bait 2

angin mengelus lembut dedaunan

bisikkan harapan pada risau dahan-dahan

takkan hutan kehilangan sejuk

sebab tempayan di bawah sana

tetap setia memberi minum akar-akar

 

Pada bait kedua terdapat citraan perabaan pada baris pertama yaitu, angin mengelus lembut dedaunan, dan pada baris ketiga yaitu, takkan hutan kehilangan sejuk. Seolah-olah pembaca dapat merasakan sebuah belaian lembut. Terdapat juga citraan pendengaran pada baris kedua yaitu, bisikkan harapan pada risau dahan-dahan. Pembaca seolah-olah dapat mendengar sebuah bisikan atau suara yang sangat pelan. Yang terakhir terdapat citraan penglihatan pada baris keempat dan kelima yaitu, sebab tempayan di bawah sana/tetap setia memberi minum akar-akar. Seolah-olah pembaca dapat melihat sebuah tempayan yang selalu memberikan air kepada akar-akar pohon disekitarnya.

Kata konkret yang muncul dalam bait ini adalah dedaunan, dahan-dahan, hutan, tempayan, dan akar-akar. Kata-kata tersebut digunakan penyair untuk menggambarkan sesuatu yang benar-benar ada secara fisik seolah-olah pembaca dapat melihat secara nyata keberadaannya.

Penyair juga menggunakan majas personifikasi yaitu, angin mengelus lembut dedaunan. Seolah-olah angin adalah seorang manusia yang dapat bergerak atau menggerakan tangannya untuk membelai daun-daun. Kemudian pada baris selanjutnya yaitu, bisikkan harapan pada risau dahan-dahan. Penyair menggambarkan seolah-olah harapan adalah juga seorang manusia yang dapat berbisik atau mengeluarkan suara yang terdengar sangat pelan kepada dahan-dahan pohon.

 

 

 

 

 

 

 

 

C.       Bait 3

apa arti setahun kemarau

bagi air yang berabad-abad memelihara bening

ia adalah cermin bagi musim yang sesekali

lupa pada muasal

bahwa sejarah takkan pernah berubah

bila kita tak serakah membelokkan arahnya

 

Pada bait ketiga terdapat citraan penglihatan yaitu, apa arti setahun kemarau/bagi air yang berabad-abad memelihara bening/ia adalah cermin bagi musim yang sesekali/lupa pada muasal. Seolah-olah pembaca dapat melihat musim kering/semi, dapat melihat air yang bening, dan dapat melihat sebuah cermin tempat orang melihat bayangan dirinya. Terdapat juga citraan perasaan yaitu, bahwa sejarah takkan pernah berubah/bila kita tak serakah membelokkan arahnya. Penyair juga merangang indera perasaan kita seolah-olah kita dapat merasakan perasaan serakah atau tidak merasa puas dengan apa yag sudah dimiliki.

Penyair menggunakan majas metafora yaitu, bagi air yang berabad-abad memelihara bening/ia adalah cermin bagi musim yang sesekali/lupa pada muasal.  Di mana air dipersamakan dengan cermin.

 

 

D.      Bait 4

hutan tetaplah hutan

takkan boleh berubah jadi hantu

 

Pada bait keempat terdapat citraan penglihatan yaitu, hutan tetaplah hutan/takkan boleh berubah jadi hantu. Seolah-olah pembaca dapat melihat hutan juga dapat melihat hantu.

Penyair menekankan bait puisi ini dengan aspek bunyi yaitu rima rupa (persamaan bunyi huruf yang mirip tetapi berlainan arti). Rima ini terdapat pada kata hutan dan hantu.

Kata konkret yang muncul dalam bait ini adalah hutan seolah-olah pembaca dapat melihat secara nyata pemandangan sebuah tanah luas yang ditumbuhi pohon-pohon.

 

Dapat disimpulkan bahwa pada sajak “Sirimau”, penyair menggunakan citraan, majas personifikasi dan majas metafora, rima rupa, diksi, dan keadaan yang kontradiktif. Keadaan yang kontradiktif atau menyatakan keterbalikan/berlawanan yang disampaikan oleh penyair menyatakan bahwa dibalik pemandangan indah dan sejuknya angin sebuah hutan menyimpan luka yang dalam akibat keserakahan manusia yang menebang pepohonan dalam hutan itu hingga terlihat sangat menyedihkan.

 Di mana saat memasuki hutan yang terlihat bukanlah indahnya pemandangan dan angin yang sejuk tetapi hanya tersisa bekas pepohonan yang ditebang untuk kepentingan manusia.

 

Jadi dapat disimpulkan bahwa pada keempat puisi di atas, penyair memanfaatkan penggunaan citraan yaitu, citraan penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, pencecapan, perasaan, dan citraan gerak untuk merangsang pancaindera pembaca agar seolah-olah pembaca dapat merasakan yang dituliskan penyair dalam bait-bait puisinya. Penyair juga menggunakan majas yaitu majas personifikasi dan majas metafora untuk menghidupkan puisinya. Pemilihan kata/diksi yang digunakan penyair juga sederhana namun sebenarnya memiliki keadaaan yang kontradiktif atau berlawanan dengan keadaan sebenarnya. Yang terakhir, penyair memanfaatkan penggunaan rima yaitu rima rupa atau persamaan bunyi huruf yang mirip tetapi berlainan arti.

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1    SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis terhadap citraan dalam empat puisi yang menggunakan diksi bahasa daerah pada kumpulan puisi “Sebilah Luka dari Negeri Malam” karya Roymon Lemosol dapat disimpulkan bahwa dalam empat puisi tersebut, yaitu puisi Lagu Pilih Cengkih, Nanaku, di Walang Sopi, dan puisi Sirimau terdapat tujuh citraan yang merangsang pancaindera seola-olah pembaca dapat melihat, merasakan, dan melakukan apa yang ditulis penyair dalam bait-bait puisi. Citraan tersebut yakni, citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan perabaan, citraan penciuman, citraan pencecapan, citraan perasaan dan citraan gerak.

 Jumlah data dari masing-masing citraan yaitu sebagai berikut: citraan penglihatan berjumlah 10, citraan pendengaran berjumlah 3 citraan perabaan berjumlah 3, citraan penciuman berjumlah 1, citraan pencecapan berjumlah 1, citraan perasaan berjumlah 2, dan citraan gerak berjumlah 2.

 

 

 

Citraan yang tampak pada keempat puisi tersebut tidak berdiri sendiri tetapi disebabkan oleh penggunaan unsur-unsur puisi lainnya seperti majas, rima, diksi (dalam hal ini kata konkret), dan pemaknaan puisi yang pada beberapa puisi ternyata menyatakan keadaan yang kontradiktif.

Jadi dapat disimpulkan bahwa citraan yang paling banyak digunakan penyair pada empat puisi yang menggunakan diksi bahasa daerah dalam kumpulan puisi “Sebilah Luka dari Negeri Malam” yaitu citraan penglihatan, dan yang paling sedikit digunakan yaitu citraan penciuman dan pencecapan.

Kemudian adanya penggunaan majas personifikasi dan majas metafora, rima rupa, dan diksi yang digunakan penyair untuk membuat hidup puisi-puisinya.

 

3.2    SARAN

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut:

1.      Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui tentang citraan dalam kumpulan puisi “Sebilah Luka dari Negeri Malam” karya Roymon Lemosol.

2.      Pembaca karya sastra diharapkan dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam analisis ini, serta pembaca dapat memahami tentang analisis citraan dalam puisi dengan menggunakan kajian struktural; dan

3.      Penulisan selanjutnya diharapkan dapat menggunakan hasil penulisan ini untuk menambah pemahaman dan pengetahuan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAFTAR NAMA DOSEN PRODI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FKIP UNPATTI.

Contoh Skripsi (ANALISIS WACANA KRITIS MODEL NORMAN FAIRCLOUGH PADA TEKS FACEBOOK GRUP NEW PILAR SBT)

Contoh Skripsi (TINDAK TUTUR DIREKTIF PENJUAL DAN PEMBELI DALAM GRUP FACEBOOK KOBISONTA DAGANG)